Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 3

21 Juni 2022, 21:09 WIB
Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 3 /Pixabay/elizabethaffery

TERAS GORONTALO – Kenangan adalah suatu kisah seseorang di masa lampau dan selalu memiliki dua mata pisau berbeda.

Bisa saja itu sesuatu yang membahagiakan, namun dapat juga sebagai sesuatu yang buruk dan ingin dilupakan.

Seperti halnya sebuah cerita pendek (Cerpen), mungkin saja itu berasal dari kisah nyata orang-orang di sekitar penulisnya, atau bisa jadi juga itu merupakan kisah pribadi milik penulis itu sendiri.

Lanjutan kisah toxic relantionship part 3 dari Teras Gorontalo. Kali ini dia mengenang kembali masa-masa indahnya saat bersama Vanya, sahabat terbaiknya.

Penasaran seperti apa kelanjutannya?

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) Toxic Relationship Part 1

Yuk dibaca sampai habis episode tiganya di sini…

TOXIC RELATIONSHIP PART 3

MEMORIES

“Ini kunci rumahnya, kamu pegang aja, Kin. Ayah ‘gak tau kapan kegiatan sanggar kamu itu bakal selesai, jadi mending kamu bawa kunci sendiri. Takutnya kalau kamu balik larut malam, orang udah pada tidur.”

Senyum hangat menyertai wajah yang tegas namun bijak ini, saat memberikan kunci rumah kepadaku.

Kerutan di wajahnya menandakan sudah begitu banyaj pahit-manis kehidupan yang beliau lalui.

Tapi itu tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap merawat & menjagaku disini, terpisah dari isterinya yang masih tetap bekerja di kota.

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 2

“Iya, Ayah, terima kasih. Kinara pergi dulu yah. Mudah-mudahan gak sampai pagi acara pagelaran seninya.”

“Iya nak, kamu hati-hati di jalan, yah. Pulangnya nanti bareng Vanya aja.”

“Siap laksanakan, Ayah.”

Senang rasanya ketika Ayah memberikan kepercayaan sebesar ini kepadaku. Harus bisa dijaga nih, biar ke depannya nanti aku masih dijinkan untuk ikut kegiatan lagi. Karena kepercayaan itu mahal harganya, apalagi jika datang dari orang tua.

“Kin, masih berapa peserta lagi yang belum tampil?”

“Kurang-lebih masih ada 15 lagi ini. Menurutmu masih cukup ‘gak yah waktu yang kita miliki, Van?”

Baca Juga: Cerpen: Berkah Penghujung Tahun

“Entahlah, Kin, yang ngatur jadwalnya kan Bu Ririn. Sama urusan sewa gedung juga beliau yang handle langsung. Panitia mah cuma tau ngurusin dekor sama susunan acaranya doank.”

“Emang berapa hari gedungnya disewa, Van? Kali aja beliau sewa 2 hari, jadi sisa peserta dialihkan besok.”

“Bentar, aku tanya ke Bu Ririn dulu deh.”

“Oke, segera kabarin aku yah.”

Ikut ekstrakurikuler kayak gini memang menyenangkan. Bahkan tak jarang saking sibuknya, kita tidak akan menyadari seberapa jauh waktu telah berlalu.

Gak salah aku dan Vanya memilih untuk ikut sanggar, selain banyak ilmu yang bisa didapatkan, tak jarang sanggar milik kami sering diikutkan dalam perlombaan antar kabupaten bahkan sampai ke tingkat nasional.

Baca Juga: Cerpen: Mimpi yang Terasa Nyata

Alhasil sekarang yang mendaftar jadi anggota sanggar makin banyak & kami juga jadi lebih sering buat perlombaan seperti sekarang ini.

“Kin, kata Bu Ririn gedungnya beliau sewa 3 hari. Jadi bisa niy kit rearrange lagi susunan acaranya. Untuk hari ini kita maksimalkan di jam 01.00 aja. Sisanya kita alihkan besok. Gimana menurutmu?”

“Boleh juga tuh, Van. Jadi besok hanya tersisa 7 peserta lagi yang bakal diseleksi sebelum masuk ke babak finalnya.”

“Okelah kalo begitu, Kin. Yuk buruan kita selesaikan rearrange acaranya, supaya bisa segera diberikan ke Bu Ririn.”

Kami pun kembali berkutat memperbaiki jadwal kegiatan untuk hari ini, karena jika dipaksakan, bisa-bisa acaranya baru selesai di jam 05.00 subuh.

Baca Juga: Cerpen - Rindu Langit

Sebenarnya gak masalah siy, mengingat sekolah masih diliburkan. Tapi kan panitianya juga butuh waktu untuk istirahat sebelum melanjutkan kegiatannya lagi.

“Udah selesai niy. Tinggal bawa ke Bu Ririn deh,” teriakan kegembiraannya cukup mengalihkan pandangan dari beberapa peserta di ruangan ini.

“Astaga, Kin, ‘gak perlu seheboh itu kali. Liat tuh, yang lain pada kaget dengar kamu teriak gitu.”

“Oalah… Maaf… Gak disengaja. Terlalu senang soalnya karena gak jadi pulang subuh.”

“Senang siy boleh-boleh aja, tapi jangan teriak juga kali. Emang kamu pikir sekarang jam berapa?” kali ini Vanya mencubit pipiku yang chubby.

“Iya, maaf. Yaudah yuk, ke Bu Ririn. Bawa susunan acaranya yang baru.”

“Kamu di sini aja, Kin, biar aku yang bawa ke Bu Ririn kertas itu. Tuh matamu udah sayu gitu, mending istirahat aja dulu sebentar. Serahkan sisanya sama aku.”

“Tapi.”

“Gak ada tapi-tapian. Kalo kamu drop, gimana? Apa kata Ayah? Emang kamu mau nanti dilarang ikut kegiatan lagi gara-gara kamu nge-drop?”

“Yaudah deh, aku nurut apa katamu aja.”

“Nah gitu donk. Jadi kita bisa ikut kegiatan terus sampai lulus dari sekolah ini.”

Aku hanya bisa tertawa mendengar kata-kata Vanya. Memang benar, aku ikut sanggar ini karena diajak Vanya. Awalnya, setiap hari aku hanya terfokus pada rute sekolah-rumah saja. Tapi setelah aktif mengikuti sanggar, sekarang aktifitasku semakin beragam.

Bahkan aku bisa menemukan banyak teman baru disini. Kegembiraan yang kami miliki, itu semua karena aktif bergabung di sanggar ini.

Tak jarang guru pembimbing kami, Bu Ririn, ikut juga dalam setiap aksi konyol kami. Rasanya ‘gak ada penyesalan dalam diriku saat mengikuti ajakan Vanya untuk bergabung disini. Karena aku bisa mengisi masa remajaku dengan penuh keceriaan.

“Kamu lagi nge-lamunin apa, sayang? Kok senyum-senyum sendiri gitu?” sebuah suara yang sangat kukenal mengusik pendengaranku.

Senyum yang sejak tadi terkembang kala mengingat masa remajaku bersama Vanya, kini hilang, bagai tersapu ombak di lautan. Ada rasa terkejut, bahkan takut yang datang menggerogoti diriku.***

Editor: Sutrisno Tola

Tags

Terkini

Terpopuler