Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 6

24 Juni 2022, 18:21 WIB
Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 6 /

TERAS GORONTALO – Segala sesuatu di dunia ini pasti ada batasannya.

Sumber daya alam yang melimpah ruah, suatu saat pasti akan habis. Es di Kutub Utara yang dulunya sangat banyak, sekarang terus-menurus mencair.

Tidak terkecuali dalam sebuah hubungan percintaan, pasti akan tiba masanya harus diakhiri, jika hal tersebut lebih banyak menyakiti dan membuat diri terluka, fisik maupun mental.

Kali ini Teras Gorontalo hadir untuk menjawab pertanyaan pembaca terkait keberadaan Kinara. 

Baca Juga: Tak Lama Lagi Idul Adha, Simak 5 Keutamaan dan Hikmah dalam Berkurban

Apakah masih hidup?
Atau jangan-jangan mati di tangan bang Adit?

Penasaran kan...
Yuk temukan jawabannya dalam cerita berikut ini...


TOXIC RELATIONSHIP PART 6
SEMUA ADA BATASANNYA

Mentari nampak masih bersembunyi di ufuk timur, seakan malu untuk menyapa. Udara segar pagi ini mampu membawa kedamaian.

Tapi tidak dengan rumah yang terletak di sudut jalan itu. Rumah megah dam mewah itu dilengkapi warna dinding yang cerah, namun sangat kontras dengan keadaan di dalamnya yang seperti kapal pecah. 

Baca Juga: One Piece: Usai Tumbangkan Ryokugyu, Bounty Yonkou Luffy Mendekati Shanks

Sampah plastik dan kertas berserakan di segala penjuru rumah. Pecahan kaca bertebaran. Bahkan tak jarang ditemukan bekas darah pada pecahan tersebut.

Tak satu pun perabotannya berada pada posisi yang benar. Seolah-olah perang dunia ketiga baru saja terjadi di sini.

Sesekali terdengar suara rintihan yang menyayat hati di sebuah ruangan pada lantai bawah rumah itu.

(“Ya Allah…. Mau sampai kapan bang Adit mengurungku di sini? Aku ingin pulang. Aku ingin berkumpul dengan keluargaku. Sudah 6 hari aku hilang tanpa kabar. Saat ini mereka pasti sedang panik. Ayah… Bunda… Vanya… Mereka pasti sudah ketakutan sekarang. Tapi aku harus bagaimana? Semua akses komunikasi benar-benar ditutup sama bang Adit. Bahkan handphoneku pun sudah dia hancurkan.”)

“Selamat pagi, sayang… Kamu sudah bangun rupanya. Mau sarapan apa pagi ini? Bilang aja, nanti abang buatkan,” suara itu terdengar begitu tulus, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi.

Tangan yang entah sudah seberapa sering melukai tubuh ini, terulur menyentuh pipiku. Meski pun mendapatkan perlakuan yang begitu manis, namun semua itu tidak dapat mengubah fakta yang ada.

Hatiku sudah mati. Tak ada lagi maaf yang tersisa untuk dia. Terlebih dia sampai nekat mengurungku di dalam bungker rumahnya sendiri.

Meski terdapat fasilitas yang memadai, tapi itu tidak dapat menutupi seberapa dingin dan sterilnya tempat ini.

“Pa-pagi juga, bang. Terima kasih sudah mau memasak untukku, tapi rasanya pagi ini aku belum terlalu lapar,” getaran dalam suaraku masih terdengar.

Meski sudah 4 hari berlalu sejak menerima amukan darinya, tetap saja ketakutan itu membekas.

Bukan hanya di hati, tapi juga pada tubuh ini. Emosi yang tidak dapat dikontrol, sudah cukup membuktikan kelabilan dirinya.

“Gak bisa gitu, sayang. Kamu harus makan. Siang nanti mama pulang dari luar kota. Aku gak mau dia melihat kamu dalam keadaan begini. Nanti dikiranya aku gak bisa ngurusin kamu,” ada penekanan di setiap ucapannya. Sepertinya untuk hari ini aku memang harus menuruti kemauan dia.

“Ya-yaudah... Abang masak apa aja yang ada, pasti akan aku habiskan. Karena semua yang abang masak pasti enak,” kuusahakan sebuah senyum tersungging di bibir ini, agar dia yakin bahwa aku percaya kepadanya.

“Oke... Kamu tunggu disini yah, abang masak dulu.”

Aku hanya bisa memberikan anggukan kecil kepadanya. Tubuhku terlalu lemah untuk bisa mencerna apapun.

Tapi kali ini, entah kenapa aku merasa bahwa makanan yang akan dia sajikan itu bisa menjadi penyelamat bagiku.

(“Tante Diana hari ini balik dari luar kota? Sepertinya ini kesempatanku untuk bisa kabur. Aku yakin beliau mau membantu. Setelah semua yang aku lalui selama bersama dengan anaknya, beliau adalah satu-satunya orang yang paling paham. Sudah sejak lama beliau menyuruhku untuk meninggalkan anaknya, tapi aku saja yang keras kepala. Selalu berusaha untuk meyakinkan diri bahwa anaknya itu bisa berubah.”)

“Ini sayang, kamu makan dulu. Pelan-pelan yah, soalnya sup itu masih panas. Maaf aku gak bisa masak banyak-banyak. Soalnya mau bersih-bersih rumah. Kamu tau kan kondisi di dalam rumah berantakan banget. Aku gak mau pas mama pulang, dia shocked karena melihat semua itu,” cerocos bang Adit tanpa henti.

Sepertinya dia berusaha menjelaskan jika dia akan sibuk sampai sebelum waktu makan siang tiba.

Tak apalah, mungkin itu lebih baik. Jadi aku bisa beristirahat sejenak sambil memikirkan bagaimana caranya supaya bisa berbicara dengan tante Diana.

***************

“Sayang, ayo bangun. Sebentar lagi mama sampai. Kamu mandi dulu gih, aku gak mau saat mama tiba di sini, kondisimu kucel begini,” tangan yang dingin itu mengusap-usap pipiku.

“Ehh.. I-iya, bang,” ucapku terkesiap.

Seketika tubuh ini langsung terbangun dari mimpi indah yang melenakan. Mimpi bertemu dan berkumpul dengan keluargaku. Meninggalkan rasa rindu yang menyesak.


“Ini obat untuk luka-luka di badanmu. Nanti setelah mandi kamu jangan lupa oleskan yah. Biar cepat sembuh dan mama juga gak khawatir karena melihat luka-luka itu,” sambil tersenyum, dia mengulurkan benda mungil yang sejak tadi digenggamnya.

Mataku hampir tidak dapat membaca tulisan yang tertera di situ, karena semuanya dalam bahasa asing.

Mau tidak mau, aku harus menerimanya dan berharap semoga itu memang obat untuk luka-luka ini. Bukan racun yang dapat membunuhku seketika.

“Te-terima kasih, bang. Klo begitu, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku sambil menyeret tubuh yang lemah ini.

Tak kugubris lagi obrolan darinya. Entah apa yang dia sampaikan. Aku hanya ingin cepat-cepat menjauh darinya. Meskipun itu hanya sejauh berada di dalam kamar mandi kecil yang suram ini.

****************

Suara klakson mobil terdengar di balik gerbang rumah ini. Mungkin itu tante Diana.

Aku memperbaiki rambut yang sedikit kusut. Berusaha duduk dengan tenang, tanpa memperlihatkan kegelisahan ataupun ketakutan. Tak jarang aku berlatih untuk tersenyum, meski harus meringis kesakitan ketika melakukannya.

Saat ini aku sengaja tidak berdandan, bukannya tidak mau, tapi lebih dikarenakan aku tidak ingin melihat cermin. Aku takut melihat luka-luka itu. Cukup rasa perih saja yang kurasakan, tanpa harus tau seperti apa bekas luka yang tercipta.

“Lho, Kinara. Kok bisa ada di sini? Aditnya mana?” sebuah suara lembut yang penuh kasih terdengar.

Ya, itulah tante Diana. Tampak jelas keterkejutan di wajahnya. Seolah-olah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Apa mungkin karena dia berpikir bahwa aku seharusnya sudah pergi jauh meninggalkan anaknya?

“I-iya, tante. Ini Kinara. Maaf udah buat tante kaget. Bang Adit lagi mandi. Kinara disini karena bang Adit yang jemput. Katanya hari ini tante balik dari luar kota, jadi Kinara diminta temenin bang Adit buat menyambut kedatangan tante.”

“Sudah lama yah kita gak ketemu, Kin. Maafkan tante yang harus pergi ke luar kota selama beberapa bulan dan meninggalkan kamu di sini bersama Adit,” ketulusan terdengar dari bibir itu.

Aku sadar, tanpa perlu menjelaskan pun, tante Diana sepertinya paham apa yang sudah terjadi.

Penglihatan beliau sangat tajam. Sehebat apapun obat yang kupakai, sudah pasti tidak dapat sepenuhnya menutupi bekas-bekas luka itu.

Dia langsung datang memeluk tubuhku yang ringkih. Tangannya tak henti mengelus kepala bahkan punggung tubuhku.

Aku menangis tanpa suara di dalam pelukannya. Lega rasanya. Seperti menemukan oase di tengah gurun pasir yang begitu luas.

“Gak apa-apa tante. Kinara baik-baik aja. Selama tante pergi juga, keadaan di sini masih terkendali kok,” suaraku bergetar.

Airmata masih deras mengalir di pipiku. Aku sadar, percuma saja aku berbohong untuk menutupi semuanya.

Tante Diana sangat mengenal tabiat anaknya. Apalagi setelah memelukku dengan eratnya, beliau pasti sudah menyadari kondisiku saat ini.

“Rasanya tidak pantas jika tante masih menanyakan ini kepada kamu, nak. Hanya saja, tante harus tau. Apa yang sebenarnya sudah terjadi dan jangan coba-coba berbohong untuk membela Adit,” ujar suara lembut itu, sambil menatap intens ke dalam mataku. Berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang melintas dalam pikirannya.

“Se-sebenarnya tante... Ehmm… I-itu…,” omonganku terhenti tatkala mendengar suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh menuruni tangga rumah.

Bang Adit.

Sepertinya aku harus menunda dulu pembicaraanku dengan tante Diana. Aku tergesa-gesa menghapus jejak airmata di pipi. Tak ingin dia menyadari jika tadi aku hampir saja mengadu kepada Ibunya.

Tante Diana yang menyadari perubahan sikapku itu, berusaha untuk tetap tenang. Meski dapat kulihat, ada pergolakan emosi di mata kelabunya.

“Hai, baby. Udah selesai mandinya?”

“Mama… Kapan tiba? Kok gak ngabarin Adit siy? Kan Adit bisa jemput langsung di Bandara.”

“Baru aja sampai. Tadi Mama langsung telepon Mang Surya untuk jemput. Sampai di sini Mama liat ada Kinara, jadi deh langsung Mama peluk. Kangen soalnya. Udah beberapa bulan gak ketemu.”

“Jadi cuma kangen sama Kinara aja niy? Terus sama anak sendiri gak kangen, gitu?” mulut bang Adit sampai monyong karena cemberut.

Lucu rasanya melihat tingkah laku dia yang kekanak-kanakan. Tapi semua pemandangan ini tidak mampu mengukir tawa di bibirku.

“Lucu banget siy kamu, nak. Sampai cemberut gitu. Mama juga kangen sama kamu kok,” seru tante Diana, melepaskan pelukannya dariku.

Dia pun melangkah mendekati anaknya. Aku mundur selangkah, memberikan jarak bagi mereka melepas kerinduan.

Sadar bahwa saat ini aku harus bisa menahan diri dulu. Akan ada waktunya bagiku untuk bisa bicara berdua dengan tante Diana. Tapi tidak saat ini.

“Mama udah makan? Kalo belum, ayo makan dulu. Hari ini Adit masak sup kesukaan Mama.”

“Yakin kamu yang masak? Bukannya Kinara?”

“Ehh... Bu-bukan Kinara yang masak, tante. Itu memang bang Adit yang buatin untuk tante.”

“Mama nih, gak percayaan sama anak sendiri.”

“Iya... iya… Mama percaya. Tapi maaf, Mama masih kenyang. Nanti aja yah makannya. Mending kita ngobrol aja dulu di sini.”

“Hmm… Adit pengen siy ngobrol lama-lama sama Mama, cuma Adit ada urusan yang mendesak. Tadi tiba-tiba dapat telepon dari kantor, katanya ada laporan yang harus disiapin buat meeting sore ini. Jadi mau gak mau Adit harus ke kantor, apalagi udah hampir 1 minggu Adit cuti.”

“Lho, kamu cuti kenapa, nak? Sakit? Apa gimana?” nada kaget namun khawatir terdengar dari mulutnya.

Jelas sekali tante Diana betul-betul tidak menyangka bahwa anaknya bisa sampai cuti selama itu. Aku sendiri tidak berani menjawab, karena aku tau alasan sebenarnya kenapa dia mengambil cuti.

“Nanti aja Adit jelasin yah. Sekarang Adit mau ke kantor dulu. Mama tolong jagain Kinara. Dia lagi sakit, jadi Adit rawat disini. Tapi Mama tenang aja, Adit udah ngabarin ke keluarga Kinara kok, jadi mereka tau kalo dia ada di sini,” ujar bang Adit, berusaha menjelaskan sesingkat mungkin penyebab keberadaanku di sini.

Aku hanya bisa tersenyum miris mendengar kebohongan yang mengalir lancar dari mulutnya. Ingin rasanya aku tertawa sinis di hadapannya sekarang.

Rawat? Justru kamu yang butuh untuk dirawat intensif. Udah ngabarin? Kapan? Handphoneku aja udah kamu hancurkan dan aku kamu kurung di dalam bungker. Jadi mana mungkin kamu berani untuk ngabarin keluargaku.

“Baiklah. Hati-hati di jalan, nak. Semoga meetingnya berjalan dengan sukses.”

(“Sekarang ini waktuku. Aku bisa memanfaatkan kepergian bang Adit untuk bicara dengan tante Diana. Aku harus bisa meminta tolong dia untuk mengeluarkanku dari sini. Hanya dia satu-satunya kesempatanku supaya bisa selamat.”)

“Nah, Kinara, sampai di mana kita tadi?” suara tante Diana kembali terdengar, setelah mobil bang Adit meninggalkan gerbang rumah.

Aku beringsut mendekat kepadanya, berharap bisa mendapatkan sedikit kekuatan sebelum melanjutkan pembicaraan kami.

Aku melihat ke dalam tatapan matanya. Ada ketulusan di mata itu. Ketulusan yang sama, seperti sebelumnya, ketika aku menceritakan tentang sikap anaknya kepadaku.

Tanpa kusadari, cerita itu akhirnya mengalir dari mulutku. Kisah cinta yang baru 2 tahun kujalani bersama anaknya, tapi serasa berabad-abad lamanya. Kisah yang justru lebih banyak dipenuhi dengan derai airmata, bahkan meninggalkan luka yang sulit untuk disembuhkan.

“Sudah sejak lama tante minta kamu untuk tinggalin Adit, kan. Bukan karena tante tidak merestui hubungan kalian, tapi lebih kepada keselamatanmu sendiri. Tante paham betul gimana Adit. Sejak kejadian ditinggal pergi sama wanita yang baru dia nikahi dalam kurun waktu 24 jam itu, Adit jadi berubah. Dia jadi sulit untuk percaya sama yang namanya wanita. Apalagi wanita itu kabur bersama mantan pacarnya sendiri. Dia jadi sering menyakiti diri sendiri, bahkan sering melakukan percobaan bunuh diri. Tante aja sampai gak bisa kerja karena harus jagain dia.”

Aku hanya bisa terdiam mendengarkan penuturan tante Diana. Untuk kesekian kalinya aku kembali mendengarkan perihal masa lalu bang Adit ini.

Aku tau, kejadian itu merupakan trauma besar baginya. Itu yang membentuk bang Adit menjadi sosok seperti sekarang ini.

Lembut diluar, tapi beringas ketika dia mulai curiga terhadap sesuatu. Sangat menyayangi pasangannya, tapi posesif dan tanpa dia sadari, justru itulah yang menjadi senjata pembunuh jiwaku selama ini.

Aku juga tau, pengobatan yang dilakukan terhadapnya belum 100% berhasil. Tak jarang aku sering ikut menemani dia saat harus datang dalam sesi terapinya.

Tapi aku sadar, tak bisa selamanya bertahan dalam kondisi ini. Tidak selama bang Adit belum dikatakan sembuh.

“Iya tante, Kinara ngerti. Sebenarnya Kinara berharap bang Adit bisa sembuh, tapi ternyata sedikit saja kesalahan justru bisa memicu trauma itu. Waktu 2 tahun itu tidak singkat, tante. Cukup banyak perjuangan di dalamnya untuk bisa bertahan menghadapi bang Adit.”

“Tante paham, Kin. Paham banget malah. Gak gampang melupakan kebersamaan itu, Apalagi kamu selalu menemani Adit meski dalam kondisi terburuk sekalipun. Tapi jika sudah seperti ini, mana mungkin tante masih meminta kamu untuk tinggal. Tidak setelah dia mengurung kamu di ruangan itu, Kin. Ini harus berakhir sekarang, sebelum kamu mati di tangan Adit. Karena ketika emosi itu datang, dia tidak akan pernah merasakan apapun saat menyakiti kamu, Kin. Sebelum dia melihat darah mengalir, dia pasti tidak akan berhenti dan itu yang tante tidak ingin terjadi lagi kepadamu,” ujar tante Diana lirih, sambil menggenggam tanganku.

Ada airmata menggenang di pelupuk matanya. Aku sebenarnya tidak tega harus meninggalkan wanita baik ini sendirian merawat anaknya. Tapi perkataan tante Diana itu memang benar.

Aku harus pergi dari semua kekacauan ini. Bukan karena tidak sayang, tapi lebih karena untuk menyelamatkan nyawaku sendiri.

“A-apa tante mau bantu Kinara supaya bisa pergi jauh dari sini?” terbata-bata suaraku menyampaikan pertanyaan itu.

Ada keraguan disana. Takut jikalau tante Diana tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk melepaskanku pergi dari sisi bang Adit.

“Tanpa kamu minta pun, tante pasti akan bantu kamu. Kamu sudah seperti anak tante, Kin. Jadi sudah tugas tante untuk menjaga kamu. Meskipun itu berarti harus mejauhkanmu dari Adit, anak tante sendiri.”

“Terima kasih tante. Aku gak tau lagi gimana caranya untuk membalas kebaikan tante.”

“Jangan pikirkan itu dulu. Sekarang kamu hubungi orang yang bisa datang menjemputmu di sini. Kamu bisa pakai handphone tante, jadi Adit gak akan curiga,” jelas suara itu sambil mengulurkan benda kecil multifungsi yang sejak tadi ada dalam genggamannya.

Buru-buru aku mengambil benda itu dari tangan tante Diana. Tak dapat digambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Antara haru, sedih & gembira bercampur menjadi satu.

Sudah sejak tadi kupikirkan baik-baik. Jika tante Diana mengizinkanku untuk menggunakan handphone miliknya, maka harus orang itulah yang kuhubungi pertama kali.

“Assalamu’alaikum, Vanya. Ini aku, Kinara.”

S.H.E
~ Manado, 21 Nov 2019 ~

Editor: Gian Limbanadi

Tags

Terkini

Terpopuler