Cerbung (Cerita Bersambung): Toxic Relationship Part Akhir

26 Juni 2022, 13:16 WIB
Cerbung (Cerita Bersambung): Toxic Relationship Part Akhir /Pixabay /calliecmm0

TERAS GORONTALO – Akhir yang bahagia pasti selalu menjadi harapan setiap manusia di dunia ini.

Mengharapkan segala sesuatunya bisa berjalan sesuai dengan rencana dan keinginan juga menjadi hal yang diidam-idamkan semua orang.

Tidak terkecuali dengan sebuah hubungan, pasti setiap pasangan menginginkan akhir yang bahagia dalam jalinan kasih yang mereka lalui.

Episode akhir dari kisah asmara antara Kinara dan bang Adit dihadirkan kembali oleh TerasGorontalo.com.

Sebuah kisah percintaan tragis, yang membawa trauma seumur hidup bagi Kinara.

Apakah Kinara mendapatkan akhir yang bahagia?

Ataukah dia harus menghabiskan sisa hidupnya menjadi tawanan bang Adit, pacar psikopatnya?

Baca selengkapnya episode terakhir kehidupan Kinara di sini....

TOXIC RELATIONSHIP PART AKHIR

KEHIDUPAN BARU DIMULAI

Dua pasang kaki yang mungil tampak berlarian di atas hamparan pasir putih. Sesekali tangan mereka melambai ke arahku, mengajak untuk ikut bergabung dalam kegembiraan itu.

Sepertinya mereka sangat menikmati liburan kali ini. Sebab selama ini, hanya saat akhir pekan saja aku bisa meluangkan banyak waktu untuk mereka.

Menghabiskan waktu dengan mereka merupakan saat-saat yang sangat berharga untukku dan tak ingin kuganti dengan apapun. Sekalipun dengan dia.

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak kejadian itu. Bukan waktu yang pendek. Apalagi aku harus menghabiskan waktu selama dua tahun untuk bisa benar-benar pulih secara fisik maupun mental.

Kedua orang tuaku akhirnya mengetahui apa yang sudah aku alami dan andil dalam masa penyembuhan itu. Tidak terkecuali dengan sahabat terbaikku.

Dia bahkan rela bolos kerja hanya untuk menemaniku ke tempat terapis. Hal itu membuat aku tak pernah berhenti bersyukur, karena berhasil keluar dari neraka itu, walaupun pada akhirnya harus menghabiskan waktu menjalani terapi.

Flashback on….

Mereka berdua hanya bisa duduk diam di dalam ruangan itu. Yah, mereka memilih untuk kembali ke dalam bungker, sambil sesekali memastikan keadaan di sekitarnya. Berharap Adit tidak jadi datang untuk menengok keadaan Kinara.

(“Gimana ini, Van? Kalo bang Adit sampai masuk ke sini, pupus sudah harapanku untuk bisa kabur darinya,” tanya Kinara dengan suara yang gemetar.)

(“Udah, kamu tenang aja. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Kita serahkan semua sama tante Diana. Aku yakin, beliau pasti bisa mengatasi ini.”)

(“Iya tapi kamu gak bisa sembunyi di sini, Van. Karena kalo sampai dia liat kamu di sini, aku yakin hal yang amat buruk pasti akan terjadi.”)

(“Hei… Aku udah pernah bilang, kan, sama kamu. Stop mikir yang negatif. Be positif sedikit lah. Jangan pernah meragukan kemampuanku. Aku udah janji sama kamu dan pastinya aku hak akan melanggar janji itu. Meskipun nyawa jadi taruhannya, Kin.”)

(“Ta-tapi, Van.”)

(“Udah, gak ada tapi-tapian. Sekarang kamu duduk tenang di sini, jangan sampai ada suara sedikit pun yang terdengar. Aku mau melihat situasi dulu, mana tau udah aman.”)

Kali ini Vanya berjalan seorang diri menyusuri jalan tempat dia datang tadi. Sayup-sayup terdengar langkah kaki yang begitu pelan namun tergesa-gesa datang mendekat.

Dia tertegun, nafasnya tercekat. Sambil berusaha menetralisir debaran jantung di dadanya, Vanya berusaha menajamkan indera pendengaran yang dia miliki.

Mulutnya tak henti berdoa, berharap yang datang itu bukan Adit.

Sekelebat bayangan tiba-tiba berjalan menuruni tangga. Untung saja Vanya berdiri tepat dibawahnya dan sudut tangga yang begitu gelap sangat membantu dalam menyembunyikan Vanya dari penglihatan siapa pun.

(“Kin… Kinara…,” suara bariton yang sudah sangat familiar terdengar. Ternyata benar, itu Adit.)

Kali ini giliran Kinara yang terkejut. Rasa panik mulai menjalari tubuhnya.

Ya Allah… Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Kenapa bang Adit harus datang sih? Terus Vanya di mana sekarang? Apa bang Adit udah ngeliat dia, makanya sekarang dia langsung ke sini?

(“Kinara?” kembali suara itu terdengar, tapi kali ada sebuah tanya besar dalam intonasinya.)

(“Hmmm… Lho, kok bang Adit di sini? Bukannya tadi udah berangkat yah?” kali ini suaranya terkesan dibuat-buat, seolah dia baru saja bangun dari tidur.)

Yah, ini satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya di saat genting begini. Tidak ada Vanya yang bisa membantunya. Tidak juga tante Diana yang bisa membelanya.

(“Ada dokumen abang yang ketinggalan, sayang, makanya balik lagi. Tapi ini udah mau pergi lagi kok. Cuma sedikit khawatir karena abang liat sejak pagi kamu tidur terus. Jadi abang mampir sebentar.”)

(“Abang ‘gak usah khawatir, aku baik-baik aja kok. Mungkin itu cuma karena pengaruh obat, jadi bawaannya pengen tidur terus,” ucapnya yang untuk pertama kalinya berbohong.)

(“Ohh, begitu. Mungkin dosis obatnya terlalu banyak. Nanti abang minta mama untuk kurangin dosisnya. Gak baik juga kalo kamu tidur seharian,” ujarnya sambil membelai kepalaku.)

(“Iya, makasih yah, bang. Maaf udah ngerepotin.”)

(“Gak perlu bilang makasih, itu udah jadi tugasku untuk ngejagain kamu. Yaudah, abang berangkat dulu yah, takut ketinggalan pesawat.”)

(“Iya, bang, hati-hati di jalan. Semoga meetingnya berjalan lancar.”)

Setelah mengecup keningku, akhirnya dia berlalu pergi. Kali ini aku sengaja ikut mengantarkan kepergiannya sampai di sudut tangga.

Tak berani melangkah lebih jauh lagi, agar dia tidak semakin curiga. Apalagi tadi dia sempat memperhatikan sekeliling ruangan yang biasanya sengaja kubiarkan berantakan, kini terlihat bersih dan rapi.

Tujuanku mengantarkan sebenarnya lebih kepada ingin mencari keberadaan Vanya. Aku yakin dia pasti masih bersembunyi di sekitar sini.

Setelah memastikan bang Adit benar-benar sudah pergi, kini aku berjalan mengelilingi setiap sudut ruang bawah tanah ini. Berusaha mencari sosok sahabatku yang entah sedang bersembunyi di mana.

(“Van? Vanya? Kamu di mana?”)

(“Aku di sini, Kin. Si Adit mana?”)

(“Alhamdulillah… Aku udah khawatir tadi, Van. Kirain bang Adit udah ngeliat kamu. Dia udah pergi tuh. Tadi cuma datang ngambil dokumen yang tertinggal,” jelasku sambil menghembuskan nafas yang sejak tadi kutahan.)

(“Aku dari tadi sembunyi di sini kok. Posisinya pas, jadi gak bakal semudah itu Adit bisa ngeliat aku. Dia udah beneran pergi kan?”)

(“Iya, Adit udah beneran pergi, kok. Jadi kalian sekarang udah bisa pergi juga dari sini,” kali ini suara tante Diana yang terdengar.)

Rupanya dia datang untuk memastikan keadaan kami di sini. Mungkin beliau juga khawatir jika rencana ini gagal, karena Adit yang tiba-tiba balik lagi ke rumah.

(“Makasih, tante. Maaf udah ngerepotin. Sampai harus ikut ngawasin Adit juga, padahal kan dia anak tante.”)

(“Gak apa-apa, nak. Kalo untuk kebaikan, tante pasti siap bantuin kok. Yaudah sekarang kalian berdua buruan pergi. Tunggu apalagi?”)

(“Iya, tante. Sekali lagi makasih untuk semuanya. Aku senang bisa kenal sama tante, meskipun akhirnya aku gak bisa jadi menantu di rumah ini.”)

(“Sampai kapanpun, kamu tetap tante anggap sebagai anak tante, Kinara. Meskipun kamu tidak lahir dari rahim tante.”)

(“Makasih yah, tante. Udah bantuin Vanya untuk membawa Kinara dari sini,” kali ini giliran Vanya yang bicara.)

(“Iya, sama-sama nak Vanya. Kalian berdua hati-hati di jalan, yah. Tetap jaga komunikasi meskipun kita mungkin gak akan ketemu lagi,” seru tante Diana, menahan haru.)

Setelah mendapatkan pelukan yang hangat dari tante Diana, kedua anak manusia itupun melangkah pergi, meninggalkan ruang bawah tanah itu.

Meninggalkan rumah yang sudah menjadi saksi bisu akan kisah cinta kelam dari pemiliknya.

Mereka pun pergi sejauh mungkin demi membangun kembali masa depan yang cerah.

Flashback off….

“Kamu ngelamunin apa, sayang?” sebuah suara yang lembut datang memasuki ruang dengarku.

“Bukan apa-apa, mas. Cuma teringat kejadian yang selalu membuatku bersyukur karena memiliki kalian dalam hidupku,” jawabku sambil tersenyum menatap wajah teduh itu.

“Soal itu lagi yah?”, kali ini tangannya merangkul pundakku.

“Iya, mas. Aku bersyukur bisa keluar dari sana. Bersyukur karena punya teman seperti Vanya yang selalu ada untukku, susah maupun senang. Lebih bersyukur lagi setelah kita bertemu, mas. Ternyata aku gak salah karena mau menuruti keinginan Vanya untuk menjodohkan kita, meskipun awalnya aku ragu.”

“Kamu benar, sedikit banyak apa yang kita miliki saat ini tidak lepas dari campur tangan Vanya. Karena bukan hal yang mudah untuk bisa mendapatkan hatimu kala itu, Kin. Setelah semua penderitaan yang kamu alami, siksaan yang kamu terima, mas maklum jika ada trauma yang membekas dan sulit untuk dihilangkan.”

“Tapi aku yakin kok, mas, dengan adanya kamu, si kembar, keluarga kita dan sahabat sebaik Vanya, aku pasti bisa betul-betul lepas dari trauma itu. Karena kalian sudah memberikan kasih sayang yang begitu tulus kepadaku,” jawabku sambil membalas rangkulannya.

“Iya sayang, kita pasti bisa menjalani semua ini.”

Yah, aku pasti bisa. Setelah menjalani jam terapi yang cukup ketat dan ribuan mimpi buruk yang selalu datang mengganggu tidur lelapku, aku yakin pasti bisa benar-benar sembuh.

Karena sekarang aku memiliki dia, yang akan senantiasa menjagaku kapanpun dan dimanapun.

Dia yang tidak segan-segan untuk memelukku ketika mimpi buruk itu kembali datang. Dia yang rela untuk menjaga dan merawat si kembar ketika sakitku kambuh. Dia pun selalu sabar dalam menghadapi kelabilan emosiku.

Bahkan tak sedikitpun dia merasa jijik ketika tau masa lalu yang sudah kulalui.

Dialah mas Rio, sahabat sekaligus rekan bisnis Vanya dan sekarang menjadi suamiku.

Vanya menjodohkan kami tujuh tahun yang lalu. Tepat tiga tahun setelah insidenku bersama bang Adit.

Butuh keyakinan yang kuat untuk membuatku mau menerima perasaannya. Apalagi ketika dia memilihku untuk menjadi pendamping hidupnya.

Meski awalnya tidak yakin, tapi nyatanya sampai detik ini kami berhasil melalui semuanya dengan baik. Terlebih setelah kehadiran si kembar yang selalu membawa keceriaan dalam setiap tingkah-laku mereka.

Aku bersyukur karena berhasil membangun masa depan baru yang cerah, dikelilingi oleh orang-orang yang kucintai dan juga mencintaiku.

Aku tidak memusuhi masa laluku, karena itu tidak akan menghilangkan traumanya.

Aku memilih untuk berdamai, bahkan masih menjalin komunikasi dengan orang yang berasal dari masa lalu itu, tante Diana.

Yah, setelah pelarianku, lima tahun yang lalu aku mencoba untuk menghubungi dia, tepat saat aku memutuskan untuk membina rumah tangga dengan mas Rio.

Meski tidak seintens dulu, tapi sesekali kami selalu menyempatkan untuk berjumpa, sekedar untuk berbagi cerita tentang kehidupan yang kami jalani.

Inilah jalan yang kupilih untuk membangun kebahagiaan yang kuinginkan dan aku bersyukur karena bisa mendapatkan cinta dari mereka semua.***

Editor: Sitti Marlina Idrus

Tags

Terkini

Terpopuler