Cerbung (Cerita Bersambung) - Mentari Sendu Eps. 1

27 Juni 2022, 22:35 WIB
Ilustrasi Bunga Matahari - Cerbung (Cerita Bersambung) - Mentari Sendu Eps. 1 /Pixabay/Peggychoucair

TERAS GORONTALO – Hai sobat TG, kembali lagi penulis hadir membawakan sebuah cerita bersambung (Cerbung) yang baru untuk menghiasi kanal cerpen di sini.

Kali ini Teras Gorontalo menghadirkan sebuah kisah seorang gadis yang ingin membuktikan bahwa dirinya bisa sukses dan mandiri tanpa kekayaan keluarganya.

Mungkin sudah banyak kisah dalam kehidupan nyata yang seperti ini, tapi tentu saja konflik yang dihadapi tidak mungkin serupa.

Yuk disimak kisah Trisah dalam Mentari Sendu berikut ini...

MENTARI SENDU EPS. 1

Selembar postcard yang cantik tergeletak di atas meja kerjaku. Melihat gambar saja aku sudah tahu siapa pengirimnya, karena itu merupakan gambar bunga kesayanganku, Matahari.

Tapi hati ini masih enggan untuk membacanya, maka jadilah postcard itu kusimpan saja dalam laci meja. Nanti akan kubaca jika suasana hati ini sudah membaik.

Baca Juga: Cerpen: Berkah Penghujung Tahun

Selama dua tahun aku pindah ke kota ini, baru sekarang mereka mencariku. Setelah permintaanku yang dianggap “gila” oleh mereka, aku memilih untuk hijrah ke kota ini, menenangkan hati sekaligus menjauh sejenak dari pertikaian.

Perlahan namun pasti, aku berusaha menggapai cita-cita ini sendiri, meski tanpa dukungan penuh dari mereka.

Aku sadar, rindu dalam diri ini tak mampu untuk dibendung. Tanah kelahiranku yang begitu subur, ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan bunga.

Bahkan hampir setiap keluarga di sana memiliki ladang masing-masing untuk ditanami dengan berbagai macam hasil bumi, atau sekedar untuk membudidayakan bunga.

Udaranya pun senantiasa hangat, sangat bertolak-belakang dengan kota tempatku berada sekarang.

Tapi apa mau dikata, inilah pilihan yang kubuat, demi mewujudkan cita-cita itu. Cita-cita yang bagi pemikiran sebagian keluargaku adalah “gila”, karena aku memilih untuk tidak meneruskan usaha keluarga.

Masih segar dalam ingatanku ketika untuk pertama kalinya mengutarakan niat dalam hati ini, tapi kemudian semuanya berakhir dalam perdebatan yang sengit.

Baca Juga: Cerpen: Persahabatan Itu

Flashback on…

(“Apa? Kamu mau jadi dokter hewan? Gak salah ngomong kamu?” suara sopran terdengar melengking dari arah rumah itu.)

Rumah berwarna off white, dengan arsitektur peninggalan zaman Belanda yang masih berdiri kokoh.

Nampak renovasi sudah dilakukan di beberapa bagian rumah yang menambah kesan mewah dan berkelas bagi rumah itu.

(“Iya, Bun. Lulus SMA nanti, Trisha mau lanjut ambil jurusan kedokteran hewan. Trisha ingin melakukan banyak kebaikan, setelah selama ini banyak hewan yang berakhir disiksa maupun dibunuh.”)

(“Apa kamu sudah gila, nak? Kalo sampai Ayahmu tau, kamu bisa dicoret dari daftar pewaris lho. Kenapa kamu gak ambil jurusan bisnis aja sih? Biar bisa bantu Ayah dan Bunda di sini.”)

(“Trisha gak ada keinginan untuk jadi pengusaha, Bun. Hati kecil Trisha gak bisa bohong. Lagipula kan masih ada Timmy dan Tristan yang bisa jadi penerus usaha keluarga kita.”)

(“Ya Tuhan, Trish, adik-adikmu itu masih kecil lho. Baru juga lulus SD. Masa iya udah mau dibebankan sama hal sebesar itu. Harusnya kamu donk yang mengemban tanggung jawab itu, karena kamu anak tertua di keluarga ini.”)

(“Tapi Trisha gak bisa, Bun. Hati Trisha udah condong ke jurusan itu. Trisha nyaman bisa berinteraksi dengan mereka, meski banyak yang menilai jika hewan itu tidak memiliki otak.”)

(“Apa Ayah gak salah dengar, Trisha? Kamu gak mau mengambil jurusan bisnis setelah lulus SMA nanti?” tiba-tiba suara alto menyela pembicaraan antara Ibu dan anak itu.)

Baca Juga: Cerpen: Mimpi yang Terasa Nyata

(“I-Iya, Ayah. Trisha mau jadi dokter hewan. Entah kenapa hati Trisha malah tergerak memilih jurusan itu.”)

(“Kamu sudah gila ya? Terus nanti bisnis Ayah siapa yang bakal urus? Umur ayah udah gak muda lagi, adik-adikmu juga masih kecil. Jad, sudah seharusnya kamu yang meneruskan usaha ini,” amarah sarat terdengar di setiap kalimat yang terucap dari bibir itu.)

(“Maaf, Ayah, tapi keputusan Trisha sudah bulat. Trisha mohon Ayah bisa mengerti. Karena biar bagaimanapun, ini sudah jadi pilihan hati Trisha,” meski lirih, namun ada ketegasan dalam nada bicaraku kepada Ayah.)

(“Tidak, Trish. Sekali Ayah tidak mengijinkan, kamu jangan coba-coba untuk melanggarnya. Jika kamu tetap memaksa, maka lebih baik kamu angkat kaki dari rumah ini. Ayah tidak butuh seorang putri pembangkang kayak kamu.”)

(“Ta-tapi Ayah, ini kan cita-cita yang ingin Trisha raih. Kenapa Ayah tidak bisa memberikan restu?”)

(“Sekali Ayah bilang tidak, tetap tidak, Trish. Kubur dalam-dalam keinginan gilamu itu jika masih ingin tinggal di rumah ini.”)

Baca Juga: Cerpen: Sahabat untuk Selamanya

Flashback off…

Sebulan setelah pengumuman lulus, akupun mengikuti keinginan Ayah. Jika menurut beliau aku harus mengubur keinginan “gila” ini demi bisa tetap tinggal bersama mereka, maka lebih baik aku pergi.

Meski itu berarti aku harus meninggalkan semua kenyamanan itu. Menjauh dari kedua adikku yang lucu dan juga Bunda yang penyayang.

Aku bahkan sempat luntang-lantung karena tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas, setelah semua fasilitas dibekukan oleh Ayah.

Ya, aku memang sudah tahu konsekuensinya jika tetap memilih pergi. Tapi aku tidak menyangka, seorang Ayah akan begitu tega kepada putrinya sendiri.

Namun semua penderitaan itu terbayar sudah, ketika aku tak sengaja bertemu dengan kerabat jauhku di stasiun kereta. Beliaulah yang kemudian mengajakku untuk ikut tinggal bersamanya.

Jadi disinilah aku, duduk dalam sebuah ruangan kecil, tempat kami mengawasi semua tingkah laku hewan di luar sana.

Ya, aku diberikan kepercayaan oleh beliau untuk ikut merawat kebun binatang ini, sambil melanjutkan pendidikan sesuai dengan cita-citaku dulu.

Baca Juga: Cerpen - Rindu Langit

Berbulan-bulan di sini, tak sekalipun Ayah atau Bunda menghubungi, bahkan sekedar untuk mengirimkan chat. Hanya si kembar saja yang masih intens mengomentari setiap aktifitasku di sosial media.

“Trish, aku duluan yah. Kamu jangan pulang kemalaman, besok kan masih ada kuliah,” sebuah suara yang belakangan ini akrab denganku menyapa, membuyarkan lamunanku.

“Iya, mas. Bentar lagi aku pulang. Tinggal sedikit lagi tugasku selesai, nanggung kalo pulang sekarang. Soalnya di rumah gak ada laptop,” ujarku.

“Yaudah kalo gitu. Aku tinggal yah. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam..”

Sepeninggalnya Mas Bian, aku kembali berkutat dengan tugas kuliah yang ada. Berusaha menyelesaikannya dengan cepat sebelum malam menjemput.

Ketika semua selesai, tanpa sadar tangan ini meraih ke dalam laci, mencari postcard yang tadi sempat kuabaikan.

(“Assalamu’alaikum, nak. Bagaimana kabarmu di sana? Maaf Bunda hanya bisa mengirimkan postcard ini kepadamu. Ayah sama sekali tidak mengijinkan Bunda untuk menghubungi kamu, pun itu hanya sekedar mengirimkan chat. Hanya melalui kedua adikmu saja Bunda bisa tahu bagaimana keadaan kamu sekarang. Bunda tahu kalau kamu sekarang tinggal dengan Pamanmu, Sammy. Beliau lah yang menghubungi Bunda dan dari beliau juga Bunda bisa tahu tentang perkembangan kamu selama ini. Bunda bangga, nak, meski tanpa dukungan orang tua, kamu bisa melakukan semua itu. Meraih cita-cita yang kamu impikan dengan tanganmu sendiri. Bunda harap kamu mau pulang, meski hanya untuk sekali saja. Kami di sini sangat rindu sama kamu, nak. Ayahmu juga. Meskipun beliau berusaha keras untuk menutupinya. Bahkan Bunga Matahari yang menjadi kesayanganmu pun turut layu, tak mekar lagi sejak kamu pergi. Maaf, karena Bunda tidak bisa berbuat banyak. Bunda hanya bisa mengirimkan doa dari sini untukmu. Semoga kamu bisa meraih kesuksesan di jalan yang kamu pilih.”)

Airmataku jatuh tanpa henti. Ada sesak yang menyelingkupi dada ini. Tak dapat dipungkiri bahwa akupun sangat rindu dengan mereka.

Meski dengan keras kepalanya aku selalu menolak setiap kali diajak Paman Sammy untuk ikut bersamanya, jika dia akan mengunjungi Bunda.

Aku belum bisa kembali sekarang. Tidak setelah Ayah mengatakan bahwa cita-cita yang kumiliki ini gila.

Aku harus bisa membuktikan padanya bahwa akupun bisa meraih kesuksesan, meski tidak mengikuti jalan yang beliau inginkan.

Aku ingin beliau bisa melihat bahwa anaknya bisa menggapai cita-cita “gila” itu meski tanpa dukungan dari orang tua.***

Editor: Sutrisno Tola

Tags

Terkini

Terpopuler