Cerbung: Cinta Dua Benua Eps. 6 - Usaha Tidak Mengkhianati Hasil

10 Juli 2022, 05:35 WIB
Ilustrasi surat tua - Cerbung: Cinta Dua Benua Eps. 6 - Usaha Tidak Mengkhianati Hasil. /Pixabay/SPOTSOFLIGHT

TERAS GORONTALO - Menjalani sebuah hubungan tanpa ada kejelasan yang pasti, tentu sangat menyakitkan.

Hal yang sama menyakitkan juga kita rasakan jika harus terpisah dari orang-orang yang dicintai, tanpa tau akan keberadaannya.

Kelanjutan kisah nyata cerita bersambung (Cerbung) 'Cinta Dua Benua' kembali hadir dalam episode 6. Berkat usaha yang tanpa henti dan tidak mengenal kata putus asa, Micha akhirnya menemukan titik terang.

Memang benar kata pepatah, bahwa usaha itu tidak akan pernah mengkhianati hasil.

Dengan bantuan sahabatnya, Micha berhasil menemukan keberadaan tante Salsa, orang yang menjadi pelangi dalam kehidupan ayahnya.

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) Cinta Dua Benua Eps. 1

Lantas apakah tante Salsa mau menemui Micha?

Bisakah Micha meyakinkan tante Salsa untuk bertemu dengan ayahnya?

Simak kelanjutan perjuangan Micha dalam cerita bersambung berikut ini...

CINTA DUA BENUA EPS. 6
USAHA TIDAK MENGKHIANATI HASIL

Hari ini merupakan hari yang super sibuk buatku. Selain harus mempersiapkan pameran yang akan digelar minggu depan, aku juga disibukkan dengan Athena, yang hampir setiap hari minta ditemani jalan-jalan.

Entah itu ke tempat wisata di sini, atau sekedar belanja ini-itu.

Ayah saja sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Saat datang ke sini saja, kopernya sudah begitu berat, bagaimana nanti saat pulang?

Dengan semua belanjaan yang dia borong, aku yakin perlu 2 koper untuk mengemasnya.

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) - Cinta Dua Benua Eps. 2

“Kak Micha, hari ini temenin aku ke mall lagi yah… Kemarin ada barang yang belum sempat kebeli.”

“Ya ampun… Masih belum selesai juga belanjamu, dek? Udah mau meledak kopermu, masih mau nambah lagi?”

“Kan nanti bisa beli koper baru sekalian, buat belanjaan yang kubeli di sini.”

“Yaudah lah yah, terserah kamu. Kakak cuma bisa ngingetin aja, jangan sampai bagasimu over.”

Tanpa menunggu ucapanku selesai, Athena ternyata sudah hilang dari hadapanku.

Tipikal anak bungsu. Apa-apa gak bisa dilarang, karena yang ada bisa ngambek tujuh-turunan.

Aku hanya bisa mengelus dada menghadapi semua tingkahnya. Belum lagi dengan keusilannya yang bener-bener suka bikin jantung copot.

Baca Juga: Cerbung Episode 3: Cinta Dua Benua, Perdebatan Micha dan Ayahya

Flashback on…

"Kak Micha... Kak. Ada apa? Kenapa menjerit histeris begitu?" suara Athena samar-samar terdengar di pendengaranku.

Inginku teriak memanggil namanya, namun lidah ini kelu, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Aku berusaha menggerakkan tubuh yang terasa kaku, akibat rasa takut yang begitu kuat.

Bahkan untuk membuka matapun aku tidak berani, karena tau sosok menyeramkan itu masih ada di sana.

“Kak Micha, ini Athena. Kak, sebenarnya ada apa? Kenapa kakak duduk di lantai begini?” kali ini suara itu terdengar disertai dengan tangan mungil yang berusaha mengguncang-guncangkan badanku.

“Athena… I-itu,” suaraku masih terbata-bata, belum mampu mengatakan apa yang terjadi.

“Iya kak, itu apa? Bilang ke aku apa maksud kakak.”

Baca Juga: Cerbung Episode 4: Cinta Dua Benua, Micha Putuskan Mengelabui Takdir

“I-itu, ada makhluk yang menyeramkan di dekat pintu kamar kakak. Mending kamu cari Ayah sekarang, minta bantuan,” jelasku samar.

Suaraku nyaris tak terdengar bahkan oleh diriku sendiri.

“Makhluk apa, kak? Gak ada siapa-siapa di sini.”

Seketika mataku terbuka. Sambil berusaha untuk bangkit, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

Kosong.

Tak ada kehadiran makhluk lain selain aku dan Athena di sini.

Apa dia pergi karena kedatangan Athena? Tapi kok bisa secepat itu dia lenyap?

Rasanya terlalu aneh. Apalagi tadi aku sempat teriak-teriak minta tolong, namun tak ada 1 orangpun yang menjawab.

Apa jangan-jangan ini ulah usil adikku lagi?

“Ayah kemana, dek?” kali ini suaraku sudah terdengar tenang.

Baca Juga: Cerbung: Cinta Dua Benua Eps. 5, Kejahilan Adik Perempuan

Berusaha menetralisir rasa takut yang tersisa. Aku harus bisa, karena kejadian malam ini sudah cukup aneh bagiku. Jadi aku harus menemukan jawabannya.

“Ayah lagi keluar, kak. Katanya ada undangan dari temannya di cafe sekitar sini.”

“Dari jam berapa Ayah pergi?”

“Udah dari sore tadi, waktu kakak masih tidur.”

“Terus ada orang yang datang gak selama kakak tidur?”

“Gak tuh. Dari tadi aku di ruang nonton sendirian.”

Bingo.

Ternyata adikku ini masih seperti dulu. Selalu menjawab apa adanya jika ditanya.

Alhasil dia tidak sadar sekarang kalau aku akhirnya tau apa yang sebenarnya sudah terjadi.

Fixed, kejadian barusan itu bagian dari keusilan adikku.

Karena jika memang dia tidak kemana-mana sejak tadi, harusnya dia mendengar teriakanku.

Karena jarak antara ruang nonton dengan kamarku tidak terlalu jauh. Malah sangat dekat dengan pintu utama rumah.

“Sejak tadi kamu ngapain aja, dek? Jujur sama kakak, gak usah bohong, apalagi ngeles,” kali ini nada bicaraku mulai terdengar dingin dan sedikit ketus.

“Lha, aku gak ngapa-ngapain kak. Bener deh, sumpah. Aku dari tadi cuma nonton aja,” suaranya mulai terdengar gugup, tapi masih berusaha berkelit.

“Kamu mau kakak laporin kelakuanmu sore ini ke Ayah? Apa kamu ingin liburanmu dibatalkan dan Ayah menyuruhmu untuk pulang besok?” jelasku dengan nada mengancam.

“Yah jangan kak. Iya deh iya, maaf. Aku tadi iseng usilin kakak dengan mainan dan kostum baru. Itu sebenarnya barang yang bakal jadi properti pementasan bulan depan. Tapi aku coba dulu, mau lihat gimana reaksi orang.”

“Terus? Puas kamu udah nakutin kakak sendiri sampai kayak gitu? Kalo kakak mati ketakutan gimana? Bisa kamu jelasin ke Ayah penyebabnya?” teriakku, lantang.

Jelas sekali sarat akan emosi terpendam di dalamnya.

“I-iya maaf kak. Gak ada maksud kayak gitu, kok. Makanya kan tadi aku langsung berhenti waktu liat kakak jatuh sampai kayak gitu.”

“Bersyukur kakakmu ini cuma jatuh. Kalo sampai jantungan gimana? Kamu tuh yah, mau ngapain aja gak pernah mikirin baik atau buruknya dulu. Nanti kalo udah kejadian beneran, baru deh kamu kapok.”

“Maaf kak. Aku gak maksud mau bikin kakak celaka, kok. Kan cuma ngetes aja.”

“Udah, kakak gak mau dengar lagi alasan kamu. Sekarang kamu keluar dari kamar kakak dan bersihkan semua peralatan iseng kamu itu sebelum Ayah datang. Mulai besok jangan minta kakak temenin kamu jalan-jalan. Minta tolong aja sama Ayah sana.”

“Iya kak.”

Dapat kulihat adikku berjalan dengan gontai meninggalkan kamar. Sesekali terdengar suara barang di pindah atau benda terseret.

Sepertinya memang dia benar-benar membersihkan semua sisa-sisa keusilannya tadi.

Yah, kali ini memang aku benar-benar marah besar. Sebab keusilan yang dia lakukan sudah membuatku ketakutan setengah mati, bahkan nyaris pingsan.

Jika saja otakku tidak dipaksa untuk berpikir, mungkin dia masih akan melanjutkan keisengannya itu selama liburan di sini.

Flashback off…

“Ayo kak, kita berangkat. Mumpung masih sore, jadi belum ramai.”

Beginilah jadinya. Meski aku sudah mengatakan tidak mau menemani dia jalan, tetap saja ketika Ayah memberi perintah, aku harus menuruti.

Aku sengaja tidak menceritakan kejadian itu pada Ayah, karena aku tidak ingin membuat beliau marah.

Sebab di usia beliau sekarang, marah-marah tidak akan sehat bagi jantung.

Baru saja mobil ini masuk ke dalam pelataran parkir mall, teleponku tiba-tiba berdering. Dari siapa gerangan ya?

Semua yang tahu bahwa aku sibuk dan tidak bisa diganggu pasti akan mengirimkan chat terlebih dulu sebelum menelepon.

Jika ada yang nekat seperti ini, berarti ini sesuatu yang urgent.

Sambil berusaha mengatur posisi mobil agar sesuai, aku mencoba mengamati nama yang tertera di layar.

Eric.

Apa jangan-jangan sudah ada titik terang dari penyelidikanku itu?

“Dek, kamu turun duluan. Tunggu kakak di cafe tempat kita biasa makan. Kakak harus menjawab telepon ini dulu, nanti kakak nyusul.”

“Yaudah kalo gitu. Tapi jangan lama-lama yah, kak.”

Tanpa membalas ucapan Athena, aku langsung menerima telepon dari Eric.

“Assalamu’alaikum. Iya, Ric. Ada apa? Apa ada kabar baik buatku?

“Wa’alaikumsalam. Iya, Mich. Alhamdulillah ada titik terang dari pencarian kamu itu. Nomor telepon yang kamu berikan kemarin memang benar milik dari tante kamu dan nomor kamu sengaja di blocked. Tapi aku berhasil melacak alamat rumahnya.”

“Serius kamu, Ric? Mana alamatnya? Bisa kamu kirimkan via WA gak?”

“Sabar, Mich. Kalo ngomong itu tarik nafas dulu. Kamu gak usah khawatir. Aku udah datang ke alamat itu, karena ternyata dia sebenarnya tinggal di kota seberang. Aku sengaja undang dia untuk datang di pameran kamu nanti.”

“Lha, emang dia mau? Aku kan belum seterkenal pelukis dunia lainnya.”

“Kamu gak usah khawatir gitu. Dia pasti datang kok. Kebetulan ternyata dia termasuk orang yang senang dengan karya pelukis pemula. Makanya dia gak nolak waktu aku beri undangan itu.”

“Alasan apa yang kamu pakai sampai dia setuju?”

“Yah aku bilang aja kalo yang mau pameran ini adikku. Dan karena dia juga seorang dosen di jurusan seni yang terkenal di sini, jadi aku undang dia.”

“Alhamdulillah… Makasih lho, Ric. Aku gak tau harus gimana lagi membalas jasa-jasa kamu ini.”

“Nanti aja makasihnya, kalo kamu udah ketemu dengan tantemu itu.”

Aku cuma bisa tersenyum mendengar ucapan Eric.

Akhirnya setelah hampir lima bulan berlalu, aku mendapatkan jawaban yang melegakan hati.

Bahkan tanpa kuminta pun, Eric malah sudah mengatur pertemuan tepat saat pameranku diselenggarakan.

Semoga tidak ada rintangan yang menggagalkan rencana ini.

Tapi sebelumnya aku harus bisa membuat Athena mengerti dengan situasi yang mungkin terjadi jika Ayah akhirnya bertemu dengan wanita itu.

Karena aku tidak ingin ada apapun yang menghalangi kebahagiaan Ayah.

Bersambung.......***

Editor: Sutrisno Tola

Sumber: terasgorontalo.com

Tags

Terkini

Terpopuler