Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 4

- 22 Juni 2022, 19:28 WIB
Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 4
Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 4 /
TERAS GORONTALO – Kematian selalu menjadi peristiwa yang tidak pernah dapat diprediksi kapan dan seperti apa terjadinya.

Tidak hanya itu saja, kematian juga selalu membawa luka yang dalam bagi orang-orang yang ditinggalkan.

Namun bagaimana jika hal ini justru terjadi dalam sebuah hubungan yang tidak sehat?

Bagaimana jika orang yang kita anggap segalanya, justru bisa menjadi pembawa malapetaka dalam kehidupan kita? 
 
Baca Juga: Viral! Gegara tak Konsumsi Obat, Seorang Pria ODGJ di Kotamobagu Melakukan Aksi Brutal

Kembali lagi Teras Gorontalo menyuguhkan sebuah kisah menegangkan dalam cerbung (cerita bersambung) tentang sebuah hubungan yang diwarnai dengan tindak kekerasan.

Kisah cinta yang tragis antara Kinara dan Bang Adit, kembali hadir dengan konflik baru yang membuat hati merasa miris.

Ingin tau bagaimana kelanjutannya?

Yuk dibaca sampai tuntas kisahnya di bawah ini… 
 
Baca Juga: One Piece: Sukiyaki Tidak Tahu Dimana Pluton Berada, Ternyata Sang Yonkou Luffy Yang Menemukannya

TOXIC RELATIONSHIP PART 4
SAAT KAMU MERASA KEMATIAN ADA DI HADAPANMU

“Bang Adit kok bisa ada disini? Bukannya lagi tugas keluar kota? Harusnya minggu depan baru selesai, kan?” seketika itu juga rentetan pertanyaan meluncur dari bibirku.

          Tubuhku seakan beku. Bagaimana tidak, orang yang seharusnya berada bermil-mil jaraknya dariku, kini berdiri tinggi menjulang dihadapanku.

“Hei… Emang ‘gak boleh abang datang ke tempat kamu ditugaskan? Apalagi ini kan kampung halamanmu sendiri. Abang kangen lho, masa yang seperti itu juga harus kamu pertanyakan lagi alasannya?” ada sedikit penekanan dalam setiap kata yang terucap dari suara bariton itu.

          Entah kenapa, kali ini suaranya tak mampu menciptakan percikan rindu seperti dulu.

         Apakah ini karena kedatangannya yang tiba-tiba?

         Atau karena aku tidak ingin dia menghancurkan semua rencana indahku bersama Vanya?

         Tinggal seminggu lagi waktuku di sini dan aku ingin menghabiskannya bersama sahabat terbaikku.

         Tapi rasanya, semua itu tidak dapat kulakukan sekarang. Tidak setelah kedatangan bang Adit ke sini.

“I-iya siy, hanya saja aku kaget karena abang gak ngabarin.”

“Lho, emang kalo mau buat kejutan harus ngabarin dulu, gitu?” sebuah tanda tanya besar nampak jelas di wajahnya.

         Pertanyaan yang lebih mengarah kepada rasa curiga. Ini yang paling tidak kuinginkan, membangkitkan rasa curiga dalam dirinya.

         Karena akibat yang bakal kuterima tidak akan pernah baik jika dia mempercayai kecurigaannya itu.

“Bu-bukan begitu maksud aku, bang. Yah kalo abang ngabarin kan aku bisa siapin kamar 1 lagi di penginapan ini. Kalo abang datang mendadak, takutnya udah full,” habis sudah alasan yang dapat kugunakan agar kecurigaan itu tidak semakin membesar.

         Aku hanya bisa berharap alasan ini cukup masuk akal bagi otak psikopatnya itu.

“Ohh… Kalo soal itu kamu gak usah khawatir, abang udah booking kamar disini, kok. Jadi gak takut bakal kehabisan,” senyum manis akhirnya terukir di bibir tebalnya itu.

         Ada sedikit kelegaan dalam hati ini, karena sepertinya rasa curiga mulai terhapus dari benaknya. Semoga saja itu tetap bertahan sampai dengan hari terakhir tugasku disini.

“Abang udah makan? Perjalanan yang abang tempuh kan cukup jauh.”

“Tadi sebelum berangkat sih udah makan, tapi sekarang lapar lagi. Temenin abang makan yuk… Kamu kan banyak tau tempat disini, jadi abang ngikut aja.”

“Yaudah, aku ganti pakaian dulu kalo gitu, bang. Gak etis rasanya ke tempat makan dengan pakaian pendek gini.”

“Oke… Abang juga mau ke kamar dulu. Mau masukin barang bawaan.”

           Ini kesempatanku, mumpung letak kamar kami cukup jauh. Aku bisa menghubungi Vanya untuk membatalkan semua rencana kami sebelumnya.

         Aku tidak ingin memicu ledakan gunung berapi dari bang Adit, karena pekerjaanku baru bisa selesai dalam 1 minggu lagi.

        Harus bisa menjaga kestabilan emosinya saat ini agar aku tetap aman dalam menjalankan tanggung jawabku.

(“Assalamu’alaikum.. Van, maaf banget. Tapi untuk planning liburan kita minggu depan bisa kamu batalkan?”)

(“Wa’alaikumsalam… Lho, kok dibatalin sih, Kin? Aku udah booking penginapan lho, karena kalo musim liburan sekolah gini, pasti rame di tempat wisata itu.”)

(“Iya, aku minta maaf. Tapi ada situasi yang saat ini tidak memungkinkan aku untuk pergi liburan sama kamu. Bang Adit ada disini. Dia tiba-tiba datang.”)

(“Kok bisa sih, Kin? Bukannya kamu bilang dia juga lagi tugas keluar kota dan baru minggu depan balik?”)

          Aku tau, Vanya juga pasti sama terkejutnya denganku. Yah, karena kami memang sudah merencanakan liburan ini.

          Sebenarnya tugasku disini bisa selesai lebih cepat 3 hari dari jadwal, sehingga itu memungkinkan buat kami untuk pergi liburan ke tempat wisata yang belum lama ini launching.

          Tapi apa mau dikata, kedatangan bang Adit sudah menghancurkan rencana itu. Mau tidak mau, aku harus mengubur kembali impianku untuk bisa liburan bersama dengan Vanya.

(“Maaf, Van, aku sendiri gak tau kenapa dia bisa tiba-tiba kesini. Bahkan dia sampai nginap di penginapan yang sama denganku. Aku aja sampai kehabisan akal mecari kalimat yang tepat supaya dia gak curiga dengan keterkejutanku.”)

(“Ya Allah, Kin. Kok malah jadi gini yah… Padahal udah lama banget kita gak liburan bareng, lho. Ini kesempatan kita, tapi sekarang malah dapat gangguan gini. Kayak punya telepati aja si Adit itu. Bisa pas banget datangnya sebelum liburan itu terlaksana.”)

 (“Mungkin memang dia punya telepati, Van. Yaudah, nanti aku hubungi kamu lagi. Udah cukup lama aku dalam kamar nih, takut bang Adit nyariin. Aku gak mau dia mulai curiga lagi, apalagi kalo sampai dia tau aku hubungin kamu.”)

(“Yaudah kalo gitu, Kin. Aku juga gak mau kamu kena masalah lagi. Kamu harus hati-hati, yah. Janji sama aku, jangan sampai ada lebam lagi yang bertambah di tubuhmu.”)

(“Iya, Van. Insya Allah gak akan nambah lagi.”)

(“Oke, aku pegang janjimu itu, Kin.”)

          Meski tak sepenuhnya yakin, tapi aku berusaha untuk memegang kalimat yang kujanjikan itu.

         Aku tau, semua kembali lagi pada bang Adit dan bagaimana aku bisa mengurangi kecurigaan yang senantiasa terlintas di benaknya itu.

         Selama berada disini, memang sebaiknya aku lebih berhati-hati, agar tidak memicu kecurigaan itu.

“Habis teleponan sama siapa kamu, sayang?”

         Demi langit dan bumi, suara itu terdengar tepat di belakangku. Rasa dingin mulai menjalar di setiap inci tubuh ini. Ketakutan sudah pasti jelas tergambar di wajahku.

         Hal yang paling tidak kuinginkan akhirnya terjadi. Bagaimana dia bisa masuk ke kamarku? Bukannya tadi sudah kukunci? Atau apakah itu hanya imajinasiku semata?

          Ya Allah, aku gak mau menimbulkan keributan disini. Sedapat mungkin aku ingin menghindari konflik dengan bang Adit. Apalagi saat ini aku berada jauh dari rumah.

          Sengaja aku tidak segera melihat ke arah datangnya suara itu, sebab saat ini wajahku pasti terlihat pucat pasi. Aku perlu menenangkan diri sebelum menghadapi dia.

“A-aku…”

“Kenapa? Kok suaramu terbata-bata gitu, sayang?”

           Senyum itu terukir di wajahnya. Senyum yang lebih menyerupai seringaian. Dan tatapan itu. Tatapan yang begitu tajam, tanpa ada percikan emosi sedikit pun. Seolah ingin membunuhku.

           Aku tau ini pasti akan berakhir buruk. Tak ada tempat bagiku untuk bersembunyi sekarang. Apalagi untuk lari. Habis sudah.

          Kali ini aku yakin, janji yang kubuat sebelumnya pada Vanya, tidak akan pernah bisa kutepati. Tidak setelah aku melihat maut berdiri dihadapanku.


S.H.E
~ Manado, 14 November 2019 ~
 

Editor: Gian Limbanadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x