Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 7

- 25 Juni 2022, 18:10 WIB
Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 7
Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 7 /

TERAS GORONTALO – Oprah Winfrey pernah mengatakan, ‘Jangan puas dengan hubungan yang tidak akan membiarkanmu menjadi diri sendiri’.

Hal ini berarti seorang pasangan yang baik akan membiarkan pasangannya untuk menjadi diri sendiri dan bebas melakukan apapun yang disukainya.

Kembali lagi Teras Gorontalo hadir membawakan kelanjutan cerita dari kisah asmara antara Kinara dan bang Adit.

Hubungan yang penuh dengan sikap posesif, kasar serta penganiayaan fisik maupun verbal ini mulai mendekati akhirnya. 

Baca Juga: Kasus Honour Killing Artis Pakistan Qandeel Baloch, Dibunuh Karena Kehormatan

Ingin tahu bagaimana nasib Kinara?

Simak selengkapnya dalam alur cerita yang menegangkan berikut ini...

TOXIC RELATIONSHIP PART 7
SELAMATKAN AKU

“Vanya, ayo buruan, nak. Katanya kamu mau berangkat pagi. Udah jam berapa ini? Mami takut sampai di sana semuanya malah udah terlambat,” sebuah suara centil ala ibu-ibu sosialita menggema di seantero rumah itu.

Meski terkesan manja, namun tak dapat menyembunyikan nada khawatir dalam perkataannya. Dialah tante Airin, mami Vanya. 

Baca Juga: Eiichiro Oda Akan Merilis Buku One Piece All Faces Untuk Peringati 25 Tahun One Piece, Berisi Ribuan Wajah Kar

“Iya sebentar, Mi. Ini lagi periksa semua perlengkapan yang Vanya udah packing semalam. Takut ada yang ketinggalan. Misi nyelamatin anak manusia kan gak segampang itu.”

“Yaudah, tapi jangan kelamaan. Kamu udah janji sama tante Diana siang ini udah sampai di sana. Mumpung si Adit itu lagi ke luar kota, lho. Kapan lagi ada kesempatan kayak gini.”

“Iya... iya…”

Selang beberapa menit kemudian Vanya sudah siap di belakang kemudi mobil Honda HR-V hitam yang dia sewa dari showroom milik temannya.

Mobil itu berjalan dengan sangat mulus, menerobos kemacetan pagi. Sengaja dia memilih berangkat pagi, agar bisa sampai di tempat tujuan saat hari masih terang.

Ya, dia memang tidak membawa mobil pribadi kali ini, mengingat bisa saja si Adit itu mengenali mobil yang dia miliki.

Demi menyelamatkan Kinara, Vanya rela berkorban apapun, termasuk melakukan hal yang paling dia hindari, menyewa kendaraan.

Seminggu yang lalu, saat menerima telepon dari Kinara, jantung Vanya seakan ingin melompat dari tempatnya. Bagaimana dia tidak kaget, setelah menghilang selama 18 hari, akhirnya sang sahabat menghubungi dirinya.

Flashback on…

(“Assalamu’alaikum Vanya, ini aku, Kinara.”)

(“Wa’alaikumsalam... Ya Allah, Kin, kamu kemana aja? Aku nyariin kamu, lho. Bahkan sampai datang ke kantor tempat kamu ditugasin. Tapi gak ada satupun dari mereka yang tau keberadaanmu. Seolah-olah kamu lenyap ditelan Bumi. Kamu baik-baik aja, kan?”)

(“Van, kalo nanya itu 1 per 1 lah, jangan diborong semua. Aku jadi bingung mau jawab yang mana.”)

(Oke... oke... Maaf, Kin, aku cuma terlalu senang aja menerima teleponmu ini. Sekarang kamu di mana? Keadanmu baik-baik aja, kan?)

(“Aku lagi di rumah bang Adit. Selama 18 hari terakhir, aku disekap di sini.”)

(“Apa??? Disekap??!! Kenapa kamu gak langsung hubungin aku siy, Kin???)

(“Gimana mau hubungin kamu, handphone aku aja dihancurin sama bang Adit.”)

(“Lha, terus ini nomor siapa yang kamu pakai?”)

(“Ini nomor tante Diana, mamanya bang Adit. Karena bang Adit lagi keluar, jadi aku bisa telepon kamu. Makanya aku gak bisa lama-lama ngobrol. Tolong selamatin aku dari sini, Van. Aku udah gak kuat lagi.”)

(“Ya Allah, Kin… Kayak sama orang lain aja. Tanpa kamu minta pun, aku pasti akan datang untuk kamu. Sekarang kamu jelasin, posisi kamu di mana. Atau gini aja, izinin aku ngobrol sama tante Diana. Biar bagaimanapun, dia yang lebih paham seluk-beluk anaknya, apalagi dia udah bantu kamu supaya bisa menghubungi aku. Jadi dia orang yang tepat untuk diajak menyusun rencana pelarian kamu.”)

Flashback off…

Sebenarnya ketika Kinara menghubungi, Vanya ingin sekali langsung datang saat itu juga. Hanya saja, tante Diana melarang, mengingat saat itu Adit masih ada.

Setelah pembicaraan yang cukup panjang dengan tante Diana, plus memastikan jadwal si Adit, Vanya pun memutuskan untuk datang menjemput Kinara hari ini.

Karena pagi ini, Adit dijadwalkan harus menghadiri meeting penting dengan pihak di kantor cabang lain dengan jarak bermil-mil jauhnya.

“Assalamu’alaikum tante Diana, ini Vanya. Aku masih dalam perjalanan. Sekitar 30 menit lagi aku sampai. Tante udah mastiin keadaan bener-bener aman, kan? CCTV? Satpam?”

“Wa’alaikumsalam Vanya. Iya, semua udah aman. Satpam udah tante suruh cuti hari ini. CCTV juga udah tante akalin. Jadi Adit gak akan sadar kalo Kinara udah pergi.”

“Oke, tante. Terus kabarin Vanya jika ada perubahan yang terjadi. Untuk barang-barang Kinara juga biarin aja disitu. Lebih baik dia tidak pernah membawa apapun yang disediakan oleh Adit.”

“Iya, Vanya, tante mengerti. Kamu hati-hati di jalan yah, tante tunggu kamu di sini.”

Sesuai perkiraan, Vanya tiba di kediaman Adit dalam 30 menit. Dari yang seharusnya 4 jam perjalanan, hanya ditempuh selama 3 jam saja.

Waktu tempuh yang cukup cepat, mengingat jarak antar kota tempat mereka tinggal yang jauh. Tapi mungkin bagi Vanya, itu setimpal dengan misi penyelamatan yang akan dia lakukan saat ini.

Vanya menekan tombol interkom yang ada di hadapannya. Berharap tante Diana segera datang membukakan pintu. Tapi semua tampak lengang. Seolah tidak ada seorang pun di dalam rumah.

Apa mungkin beliau sedang sibuk merawat Kinara? Untuk kesekian kalinya Vanya menekan interkom di tembok rumah itu.

“Vanya? Ayo masuk dulu. Kinara lagi makan, sebentar lagi selesai.”

“Terima kasih tante, tapi Vanya gak bisa lama-lama di sini. Kalo bisa siy langsung bawa Kinara sekarang, mumpung si Adit udah pergi.”

“Tunggu sebentar aja lagi, kasihan Kinara belum selesai makan. Setidaknya beri dia sedikit energi sebelum kalian melakukan perjalanan jauh.”

“Baiklah tante, jika itu demi Kinara.”

Meskipun ragu, Vanya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah ini. Bukan karena dia tidak percaya dengan tante Diana, hanya saja dia tidak ingin berlama-lama berada di rumah seorang psikopat seperti Adit.

Jika bukan demi Kinara, mana mau Vanya datang ke rumah ini. Meski mewah dan dihiasi oleh perabot mahal tapi rumah ini terkesan dingin, bahkan terlalu steril.

Seolah-olah yang tinggal di dalamnya adalah mayat hidup. Bulu kuduknya saja meremang saat pertama kali melangkah masuk.

“Hai Van, lama gak ketemu. Maaf aku udah bikin kamu khawatir, sampai panik malah,” suara lembut yang amat dirindukan Vanya itu terdengar dari arah belakangnya.

Dia kaget melihat penampilan Kinara yang berubah drastis. Tubuhnya kurus, seakan hanya tulang yang terbungkus dengan kulitnya. Matanya bahkan cekung, seperti orang yang tidak pernah tidur.

Vanya bisa melihat sisa-sisa lebam di sekujur tubuh Kinara yang kini meninggalkan bekas kuning-kebiruan.

Nampak juga luka goresan berwarna kemerahan yang mulai mengering, ikut menghiasi beberapa bagian tubuhnya.

Hati Vanya sakit membayangkan siksaan yang sudah diterima Kinara selama sebulan terakhir ini.

“Kinara? Kamu kok jadi seperti ini, siy? Aku sampai gak ngenalin kamu, kalo bukan karena suaramu itu,” suara Vanya terdengar seperti orang yang menahan tangis.

“Panjang ceritanya, Van, tapi saat ini aku masih belum sanggup menyampaikannya ke kamu. Aku mau ambil barang-barangku yang lain dulu, yah. Setelah itu kita bisa pergi dari sini.”

“Barang apalagi, Kin? Kamu gak usah bawa apapun yang diberikan sama Adit itu.”

“Ini barang pribadiku, kok, Van. Barang yang aku bawa sendiri ke sini.”

“Yaudah, kalo gitu aku temenin, biar cepat. Aku gak mau kita lama-lama di sini. Perasaanku gak enak.”

Kedua anak manusia itupun berlalu, menuju ke ruangan yang menjadi tempat penyekapan Kinara selama ini.

Vanya benar-benar gak habis pikir, bagaimana bisa Adit punya pemikiran untuk mengurung orang yang dia sayangi di sini. Apa ini bentuk cinta yang dia maksud?

Tapi ini sudah tidak manusiawi lagi. Karena bukan hanya disekap, Kinara juga mengalami siksaan fisik maupun mental.

Ingin sekali dia menghabisi nyawa Adit saat ini juga, tapi dia tau itu semua justru hanya akan menambah masalah baru buat mereka.

Dengan membawa Kinara pergi jauh dari sini, rasanya sudah cukup untuk memberikan pelajaran buat Adit. Mungkin dengan begitu dia mau mengikuti saran tante Diana untuk melakukan terapi secara intensif.

“Apa cuma itu barang-barang pribadi kamu, Kin?” tanya Vanya sambil memperhatikan Kinara yang mengemas barang-barang miliknya dalam sebuah kotak kecil.

“Iya, cuma ini aja, kok, Van. Gak ada yang lain lagi. Sisanya itu semua barang pemberian bang Adit yang kata kamu gak perlu aku bawa.”

“Kalo begitu ayo kita segera pergi dari sini. Bau ruangan ini betul-betul membuat perutku mual,” ujar Vanya sambil menggamit lengan Kinara agar mengikuti langkahnya.

Namun tiba-tiba langkah kaki itu terhenti tepat saat akan menaiki tangga menuju ruang utama.

Hal itu membuat Kinara tanpa sengaja membenturkan kepalanya ke punggung Vanya.

Kinara kaget, kali ini apalagi yang membuat sahabatnya ini tiba-tiba berhenti melangkah. Bukannya tadi justru dia sudah tidak sabar ingin segera pergi dari sini?

“Ada apa, Van? Kok kamu mendadak berhenti?” tanya Kinara sambil mengusap-usap kepalanya.

“Ssttt… Kecilkan sedikit volume suaramu. Aku sepertinya tadi mendengar suara Adit. Makanya aku berhenti, karena ingin memastikan lagi pendengaranku.”

“A-apa? Suara bang Adit? Serius kamu, Van? Aduuhh… Gimana donk? Kalo begini kita jadi gak bisa keluar. Dia pasti bakal langsung ke sini untuk mengecek keadaanku,” ujar Kinara, panik.

“Kamu tenang dulu, jangan panik gitu. Jangan sampai dia mendengar suara kamu. Kita gak boleh gegabah, Kin. Aku udah datang jauh-jauh untuk membawa kamu pergi dari sini dan aku gak mau itu semua gagal.”

“Ta-tapi gimana kalo bang Adit tau kamu ada di sini, Van? Bisa saja dia udah ngeliat mobil kamu di parkiran, kan?”

“Soal itu kamu gak usah khawatir. Aku pakai mobil sewaan dan mobil itu aku parkir sedikit jauh dari rumah ini. Jadi Adit pasti gak akan tau jika mobil itu aku yang bawa. Sekarang kamu diam dulu, karena aku perlu mendengarkan suara-suara di atas sana.”

Kinara hanya bisa mengikuti instruksi yang diberikan sahabatnya. Dia tau, sedikit saja kesalahan, maka rencananya untuk kabur pasti akan gagal total dan pasti hukuman yang akan dia terima bisa lebih parah daripada ini. Bisa-bisa Vanya pun akan ikut menerima akibatnya.

“Kamu gak jadi berangkat, nak? Kok tiba-tiba balik?” suara tante Diana terdengar. Ada kegugupan yang berusaha untuk beliau tutupi di dalamnya.

“Jadi berangkat kok, Ma. Adit cuma datang mengambil dokumen yang tertinggal di ruang kerja.”

“Ohh... Mama pikir kamu membatalkan meeting itu.”

“Gak kok. Itu meeting penting, jadi gak mungkin Adit batalin. Oh iya, Ma, Kinara mana? Dia udah makan belum?”

Kali ini giliran dua anak manusia di ruang bawah itu yang panik. Mereka bingung harus bersembunyi ke mana lagi jika Adit sampai betul-betul datang untuk melihat kondisi Kinara.

Dengan mengendap-ngendap, mereka berusaha berjalan kembali ke dalam bungker. Tapi Vanya tetap memasang telinganya, mengawasi pembicaraan antara ibu dan anak itu.

Dia harus waspada, mengingat psikopat itu sekarang hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat mereka. Dia tidak ingin rencana yang sudah dia susun dengan rapi ini gagal total.

Cukup sudah selama ini dia diam saat sahabatnya harus menerima perlakuan yang begitu keji dari laki-laki itu. Sekarang sudah waktunya dia menyelamatkan sahabatnya, sebelum semuanya terlambat.

S.H.E
~ Manado, 25 Nov 2019 ~

Editor: Gian Limbanadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x