Perlahan namun pasti, aku berusaha menggapai cita-cita ini sendiri, meski tanpa dukungan penuh dari mereka.
Aku sadar, rindu dalam diri ini tak mampu untuk dibendung. Tanah kelahiranku yang begitu subur, ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan bunga.
Bahkan hampir setiap keluarga di sana memiliki ladang masing-masing untuk ditanami dengan berbagai macam hasil bumi, atau sekedar untuk membudidayakan bunga.
Udaranya pun senantiasa hangat, sangat bertolak-belakang dengan kota tempatku berada sekarang.
Tapi apa mau dikata, inilah pilihan yang kubuat, demi mewujudkan cita-cita itu. Cita-cita yang bagi pemikiran sebagian keluargaku adalah “gila”, karena aku memilih untuk tidak meneruskan usaha keluarga.
Masih segar dalam ingatanku ketika untuk pertama kalinya mengutarakan niat dalam hati ini, tapi kemudian semuanya berakhir dalam perdebatan yang sengit.
Baca Juga: Cerpen: Persahabatan Itu
Flashback on…
(“Apa? Kamu mau jadi dokter hewan? Gak salah ngomong kamu?” suara sopran terdengar melengking dari arah rumah itu.)
Rumah berwarna off white, dengan arsitektur peninggalan zaman Belanda yang masih berdiri kokoh.