Cerbung (Cerita Bersambung) Mentari Sendu Eps. Akhir.

- 1 Juli 2022, 08:27 WIB
Ilustrasi keluarga Trisha
Ilustrasi keluarga Trisha /Pixabay/

TERAS GORONTALO – Kata keluarga berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Kula yang berarti “anggota” dan Warga yang berarti “kelompok kerabat”.

Menurut Friedman, keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan emosi dan individu mempunyai peran masing-masing.

Perdebatan, pertengkaran dan selisih paham tentunya sudah menjadi hal yang wajar salam suatu keluarga.

Karena hal itulah yang memberikan warna dalam keseharian kita.

Hal ini jugalah yang dialami oleh Trisha. Seorang gadis yang hidup dalam rantauan, demi meraih cita-cita.

Setelah melalui perdebatan yang panjang, bahkan hingga membuatnya pergi dari rumah, Trisha akhirnya dipertemukan kembali dengan Ayahnya, yang dulu telah mengusirnya.

Penasaran bagaimana akhir dari petualangan Trisha merantau ke kota orang?

Simak akhir kisahnya di bawah ini…

MENTARI SENDU EPS. AKHIR

KELUARGA YANG BERHARGA

"Trish, kok melamun lagi? Mikirin apa kamu?"

"Bukan apa-apa kok, mas. Cuma keingat liburan kemarin. Ada sesuatu yang mengganjal aja."

"Lho, kenapa? Berantem lagi kamu sama orang rumah?"

"Bukan gitu, cuma ada sesuatu yang bikin aku bingung aja."

"Mau di share gak?"

"Nanti aja yah, mas, kalo aku udah nemu jawabannya."

Mereka pun kembali disibukkan oleh pekerjaan masing-masing.

Yah, hari ini di kebun binatang sangat ramai. Akhir tahun telah tiba, menandakan banyak orang mendapatkan masa liburan yang panjang.

Beberapa keluarga ada yang memilih kebun binatang sebagai tempat yang tepat untuk berlibur.

Selain karena anak-anak mereka bisa mendapatkan pengetahuan, juga disebabkan  biaya masuknya yang terjangkau.

"Trish, kamu udah selesai melakukan pengecekkan di kandang kuda?" sebuah suara terdengar melalui walkie talkie.

Semua pekerja disini menggunakan benda itu untuk memudahkan komunikasi mereka.

"Belum mas, ini masih on the way."

"Oke... Kalo udah selesai, kamu susul aku ke kandang monyet, ya. Ada beberapa yang lepas. Aku khawatir mereka nanti usil sama pengunjung."

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) - Mentari Sendu Eps. 1

"Oke, mas. Nanti aku susul kesana."

Selang beberapa menit kemudian, langkahku terhenti. Kaget karena sekelebat benda berbulu cokelat tiba-tiba melintas dengan cepat.

Mas Bian terlihat berusaha mengejar, tapi sayang makhluk itu telah hilang dari pandangan.

Sepertinya memang benar ada beberapa monyet yang lepas dari kandangnya.

"Mas Bian, ada yang bisa aku bantu? Apa masih banyak yang hilang?"

"Iya nih, Trish, masih ada 4 ekor lagi. Aku udah berusaha cari tapi belum ketemu. Bantuin yah."

"Iya, aku pasti bantu kok. Tapi ini gimana ceritanya sampai bisa lepas? Bukannya kandang ini letaknya paling dekat dengan kamera pengawas?"

"Aku juga gak tau, Trish. Tiba-tiba aja ada laporan monyet lepas yang loncat ke pundak pengunjung. Makanya aku buru-buru ke sini buat ngecek dan ternyata bener."

"Aduuhh... Siapa yang iseng sih ini? Udah tau monyet-monyet di sini pada suka usil, kan malah bikin repot jadinya."

"Udah-udah, kita jangan dulu saling menyalahkan, mending kita cari dulu kemana monyet-monyet itu menghilang."

"Iya deh, mas. Kalo gitu kita mencar aja biar cepat."

Dan mereka pun mengambil arah yang berbeda untuk mencari keberadaan 4 monyet yang tersisa.

Aku berhasil menemukan seekor monyet yang sedang sembunyi di bawah kolong bangku taman.

Mas Bian sendiri malah menemukan seekor lagi sedang asyik bermain air di tengah kolam air mancur.

Monyet main air?

Banyak pengunjung yang terheran-heran melihatnya. Bahkan tak jarang ada yang berusaha melakukan swafoto dengan latar monyet tersebut.

"Trish, udah berapa ekor yang kamu temukan?"

"Baru 1 nih, mas. Mas sendiri gimana?"

"Sama, baru 1 juga. Entah kemana lagi yang 2 ekor."

"Kita lanjut mencar lagi mas, ke arah sebaliknya. Kali aja ada disitu."

"Okelah kalo begitu."

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) - Mentari Sendu Eps. 2

Mereka pun kembali melanjutkan pencarian ke arah sebaliknya, berharap bisa menemukan kedua ekor monyet yang tersisa.

Dan ya, feelingku benar, karena Mas Bian berhasil menemukan 1 ekor lagi sedang asyik mengepang rambut seorang anak perempuan.

Banyak pengunjung yang terheran-heran melihatnya. Ibu dari anak itu bahkan mulai panik, tapi si anak tetap duduk dengan tenangnya bersama si monyet.

"Trisha, kamu bisa mampir ke kantor paman sebentar?"

"Ehh... Iya sebentar, paman. Aku lagi nyari monyet yang lepas."

"Biar Bian aja yang lanjut pencariannya. Ada hal penting yang mau paman bicarakan sama kamu."

"Yaudah kalo gitu. Trisha ke sana sekarang."

Pikiranku tidak tenang. Ada apa gerangan sampai paman Sammy memaksaku untuk segera menemuinya di kantor?

Bahkan meski dia tau ada keadaan genting, dia tetap mengutamakan untuk menemuinya dulu.

Apa ada musibah yang terjadi karena monyet-monyet yang lepas itu?

Atau mungkin ada pengunjung yang ingin melakukan gugatan karena kami dianggap tidak becus menjaga keamanan tempat ini?

"Paman, ini Trisha." sapaku sambil mengetuk pintu kantor milik paman Sammy.

"Ayo masuk, Trisha."

Betapa kagetnya aku karena melihat Bunda dan si kembar di sini. Bahkan aku lebih kaget lagi karena melihat Ayah duduk tepat di depan meja kerja paman Sammy.

"I-ini ada apa ya? Bunda kok ada di sini? Terus Ayah, ngapain ke sini?" suaraku terbata-bata, terkejut dengan pemandangan yang kulihat.

"Halo dear, maaf yah kami 'gak ngasih tau dulu kalo mau ke sini. Semua ini ide Ayahmu. Dia yang mengajak kami ke sini."

Rasanya sulit bagi pendengaranku untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bunda tadi.

Ayah mengajak mereka semua ke sini?

Baca Juga: Cerita Bersambung (Cerbung) - Mentari Sendu Eps 3

Untuk apa?

Berbagai pikiran negatif menari-nari liar di otakku.

"Apa maksud Ayah mengajak mereka semua ke sini? Apa Ayah ingin mempermalukanku lagi? Ini tempatku bekerja, Ayah. Tempat yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini."

"Bukan itu tujuan Ayah ke sini, nak. Ayah cuma..."

"Cukup. Aku gak mau lagi berdebat dengan Ayah. Apapun alasan Ayah, aku tetap gak bisa terima jika kedatangan Ayah hanya untuk menghancurkan ketenanganku di sini."

"Trisha, bisa gak kamu dengerin dulu penjelasan Ayahmu? Jangan dipotong sebelum semuanya jelas." kali ini suara paman Sammy yang terdengar.

"Ta-tapi paman..."

"Trisha, kedatangan Ayah ke sini justru untuk memberikan selamat kepadamu. Ayah sudah mendengar semua ceritanya lewat Bunda, bahkan termasuk dari adik kembarmu. Ayah udah tau kok, 2 minggu kemarin kamu pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan mereka."

"Terus buat apa Ayah harus jauh-jauh datang cuma untuk mengucapkan selamat? Kan bisa lewat telepon saja."

"Trisha, Ayahmu itu kangen sama kamu. Dia ingin ketemu langsung. Malah kami sempat dimarahi karena tidak memberitahukan kepadanya soal kepulangan kamu. Tapi setelah kami jelaskan kalo kedatanganmu itu mendadak, barulah Ayahmu berhenti marah."

"Iya Trisha, makanya Ayah minta Bunda sama adikmu untuk temenin Ayah ke sini. Selain karena Ayah tidak tau alamatnya, Ayah juga merasa malu karena sudah mengabaikan kamu selama ini. Kamu mau maafin Ayah kan, nak?”

Bulir-bulir airmata nampak jatuh luruh di pipinya yang keriput itu. Matanya cekung, seolah tidak pernah tidur dengan lelap.

Baru kusadari, tubuh yang dulu nampak berisi, kini terlihat kurus, seolah tidak pernah makan dengan lahap.

Apa yang sudah terjadi sebenarnya?

Mengapa orang yang dulu terlihat begitu kuat dan bugar, kini nampak seperti seorang pesakitan?

Tanpa sadar airmataku pun ikut jatuh membasahi pipi.

"Ayah sakit? Kenapa tubuh Ayah jadi seperti ini?"

"Ayah sehat kok, nak. Cuma pikiran Ayah saja yang gak bisa tenang karena sudah mengabaikan puteri kecil Ayah. Maafin Ayah ya, nak."

"Trisha udah gak marah lagi sama Ayah kok. Maaf karena Trisha gak pernah pulang. Tapi itu semua karena Trisha ingin membuktikan sama Ayah dan Bunda bahwa Trisha mampu untuk mewujudkan impian itu."

"Kamu gak perlu melakukan semua itu lagi, nak. Ayah percaya kalo kamu bisa. Kamu anak Ayah, sudah pasti kamu mampu untuk meraih kesuksesan di jalan manapun yang kamu pilih."

"Terima kasih, Ayah, karena sudah mau memberikan restu untuk Trisha."

Lama mereka saling berpelukan, seolah rindu yang telah terbendung itu takkan pernah habis.

Ya, seperti apapun pertengkaran antara orang tua dan anak, tidak akan pernah dapat memutuskan ikatan yang telah ada di antara mereka.

"Nah gitu donk, kan enak kalo akur. Jadi kak Trisha bisa pulang ke rumah, terus kita usilin lagi deh."

"Kalian yah, niatnya malah mau ngusilin aja. Kayak gak ada kerjaan lain aja."

"Lha, kakak kan tau kami gimana. Di rumah aja usil, apalagi di sini."

"Sebentar... Apa maksud kalian dengan usil di sini? Jangan bilang kalian udah ngelakuin sesuatu di tempat kerja kakak?"

"Cari tau aja sendiri."

"Aduuhhh... Pasti kalian nih yang sengaja lepasin monyet-monyet itu, ya kan?"

Kedua adik kembarku hanya mesam-mesem saja tanpa mau menjawab pertanyaanku.

Terpaksa aku harus menghubungi mas Bian untuk menanyakan perkembangan situasi yang ada.

"Mas, gimana? Udah ketemu monyet yang terakhir?"

"Belum nih, Trish. Kamu di mana sekarang?"

"Aku lagi di kantor paman Sammy."

"Yaudah kalo gitu aku ke sana aja. Mau minta izin buat akses ke seluruh kamera pengawas kita."

Selang beberapa menit kemudian...

"Permisi pak Sammy, ini Bian."

"Iya, masuk aja Bian."

"Hallo kak Bian lama 'gak ketemu."

Aku terkejut, melihat kedua adik kembarku yang menyapa mas Bian dengan sebutan kakak.

Sejak kapan mereka saling kenal? Bukannya selama ini aku jarang menghubungi mereka berdua?

"Ohh... Hai Timmy, Tristan. Lama gak ketemu yah. Makin gede aja. Gimana pelatihan Pramukanya?"

"Lancar-lancar aja. Sekarang kita lagi persiapan buat menyambut Jambore tahun depan. Kak Bian bakal datang kan?"

"Insya Allah kalo bisa dapat izin, kakak pasti datang."

"Tunggu sebentar, kalian sejak kapan saling kenal?"

"Mereka ini adik-adikku di Pramuka, Trish."

"Jadi orang yang selama ini jadi mata-mata kalian itu mas Bian yah? Ayo jawab Timmy, Tristan?"

"Tanya aja ke orangnya langsung kak."

Mereka lagi-lagi berlalu sambil menjulurkan lidah ke arahku. Aku hanya bisa memelototkan mata melihat tingkah laku mereka.

Pandanganku beralih ke arah mas Bian yang hanya bisa tertawa dengan semua kejadian tadi.

"So, mas Bian kenapa 'gak pernah cerita?"

"Apa yang perlu diceritakan? Mereka cuma nanya kok, jadi aku jawab aja sejujurnya. Lagipula mereka itu sayang sama kamu, Trish, jadi wajar kalo mereka ingin tau keadaan kakaknya."

Aku hanya bisa terdiam, tak mampu untuk berkata apapun lagi.

Apa yang dikatakan mas Bian memang benar, kami adalah saudara sedarah, jadi wajar jika saling mengkhawatirkan satu dengan yang lain, meski terkadang keusilan mereka sering membuatku jengkel.

Aku pun berlalu, berusaha menyusul kedua adik kembarku. Ingin kuraih mereka dalam pelukanku dan mengucapkan terima kasih karena selalu menyayangiku dengan cara mereka sendiri.

Aku tak menyadari jika langkah kakiku ternyata diikuti oleh Ayah, Bunda, paman Sammy, bahkan mas Bian.

"Kak Trisha, sini. Kayaknya itu monyet yang kakak cari. Tapi kok dia jalannya bungkuk gitu yah? Kayak lagi bawa sesuatu."

"Mana? Kalian lagi gak ngerjain kakak kan?"

"Gak lah kak, mood kami hari ini lagi baik. Jadi kakak tenang aja."

Akupun memandang ke arah yang ditunjuk oleh tangan mungil itu.

 Memang benar itu monyet yang aku cari. Sepertinya dia sedang asyik melakukan sesuatu dengan benda berwarna hitam yang nampak lebih besar dari ukuran badannya sendiri.

Tunggu sebentar.

Apa aku tidak salah lihat? Itu kan kamera Nikon kesayanganku. Kok bisa ada sama si monyet?

"Ya ampun... Mas Bian, itu monyet yang kita cari. Tapi kok dia bisa bawa kamera Nikon kesayanganku? Dapat darimana coba?"

"Udah-udah jangan panik. Biar mas Bian ambilkan, sekalian nangkap si monyetnya."

"Aduuhh... Hati-hati yah, mas. Jangan sampai kamera itu rusak. Soalnya aku nabung lama buat beli."

"Iya... iya… Udah jangan panik. Kamu tunggu aja di situ sama keluargamu."

Dan siang hari itu pun kami habiskan dengan tawa melihat lucunya tingkah laku si monyet yang berusaha sembunyi saat akan ditangkap.

Setiap kali ekornya berhasil disergap oleh mas Bian, setiap kali itu juga dia berkelit dengan lincahnya.

Aku hanya bisa meringis ketika melihat monyet itu berlari sambil menenteng kamera kesayanganku.

Semoga saja tidak sampai rusak karena akan susah bagiku untuk membeli kamera limited edition itu lagi.

TAMAT

S.H.E

Manado, 28 Desember 2019.***

 

Editor: Viko Karinda


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x