Gelombang Dukungan Rakyat ke Rita Tamuntuan Ramaikan Pilgub Sulut 2024 Terus Bergemuruh, Ini Kata Ferry Liando

- 4 Maret 2024, 18:33 WIB
Gelombang Dukungan Rakyat ke Rita Tamuntuan Ramaikan Pilgub Sulut 2024 Terus Bergemuruh, Ini Kata Ferry Liando
Gelombang Dukungan Rakyat ke Rita Tamuntuan Ramaikan Pilgub Sulut 2024 Terus Bergemuruh, Ini Kata Ferry Liando /

TERAS GORONTALO -- Nama Rinta Tamuntuan, akhir-akhir ini jadi perbincangan hangat di masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR).

Sejumlah masyarakat BMR, mendorong Rita Tamuntuan, agar turut meramaikan Pilgub Sulut 2024.

Bahkan, alasan masyarakat menginginkan Rita Tamuntuan, bertarung di Pilgub Sulut tahun ini, sangat realistis.

Rita Tamuntuan, merupakan figur yang merakyat dan mampu merangkul semua kalangan, dari mengah ke atas dan menengah ke bawah.

"Kalau saya lihat Ibu Rita, humble dengan semua lapisan masyarakat. Beliau mampu memposisikan diri ketika berinteraksi dengan masyarakat," ujar Triswardana H, warga Desa Nonapan 2, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolmong.

Dia menuturkan, setiap kali Rita Tamuntuan, melakukan kunjungan ke BMR, untuk mendampingi sang suami Olly Dondokambey,  dia hanya sebatas melihat dari jauh dan memperhatikan bagaimana, ibu dari Rio Dondokambey ini, berinteraksi dengan masyarakat.

"Beliau (Rita Tamuntuan, red) tidak memposisikan diri sebagaimana menjadi istri pejabat. Ibu Rita mampu berkomunikasi dengan layaknya masyarakat umum lainnya," ujarnya.

Maka dari itu, katanya, dia sangat berharap Rita Tamuntuan, dapat mengikuti konstetasi Pilgub Sulut tahun ini.

"Menjadi pemimpin kan, kamii sebagai masyarakat biasa hanya menilai dari hal-hal kecil perilaku dari seorang pejabat. Saya kira ibu Rita juga mempunyai teladan yang baik dalam mempimpin, kalaupun dipercayakan oleh partai untuk bertarung (Pilgub, red), kami akan mendukungnya," ujarnya.  

Sementara itu, Pengamat Politik Sulut, Ferry Liando menjelaskan, berdasarkan Undang Undang nomor 10 tahun 2016, tentang Pilkada, tidak membuat dikotomi antara perempuan dan laki dalam kontestasi politik.

Lanjutnya, dikotomi itu hanya ditemukan dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2017, tentang Pemilu.

"Syarat berdirinya partai politik peserta pemilu harus menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen perempuan, terutama di kepengurusan di tingkat pusat," ujar Ferry Liando.

Ferry Liando menjelaskan, syarat partai politik untuk menjadi peserta Pemilu dalam setiap Dapil harus menyertakan minimal 30 persen calon perempuan.

"Kalau di pilkada, tidak ada aturan soal keterwakilan gender. Untuk menentukan peluang calon gubernur, tidak sebatas hanya melihat pada popularitas figur," ujarnya.

Ferry Liando berujar, terdapat beberapa aspek yang wajib dipertimbangkan untuk menentukan calon gubernur.

Pertama, mempertimbangkan aspek administratif politik. Undang Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, mengatur syarat bagi partai politik yang bisa mengusung calon kepala daerah.

"Syarat parpol yang bisa mengusung kepala daerah adalah parpol yang memiliki kursi di DPRD minimal 20 persen dari jumlah total anggota di suatu daerah, berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya," ujarnya.

Selain ketentuan jumlah kursi, kata Ferry Liando, dapat juga menggunakan syarat perolehan suara hasil pemilu dengan ambang batas minimal 25 persen suara.

Jika menghitung 20 persen dari 45 kursi, maka syarat partai politik yang bisa mengajukan calon adalah harus memiliki minimal 9 kursi di DPRD.

"Jika merujuk pada hasil penghitungan sementara oleh KPU, menyebutkan bahwa perolehan kursi di DPRD praktis baru PDIP yang memenuhi syarat untuk mengusung calon kepala daerah," ujarnya.

Kedua, kata Fery Liando, wajib mempertimbangkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahahan.

Dalam Undang Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, bahwa dalam hal suatu parpol tidak memiliki kursi minimal 20 persen dari total 45 kursi di DPRD.

Maka parpol tersebut bisa bergabung atau mengajak parpol lain yang memiliki kursi di DPRD sampai jumlah kursi DPRD (minimal 9) sebagai sayarat pencalonan dapat terpenuhi.

Namun demikian, kebijakan pengabungan 2 atau lebih parpol dalam mengusung calon kepala daerah kerap bermasalah di Sulut.

"Karena gabungan yang berasal dari dua atau tiga parpol maka kepentingannya berbeda-beda satu sama lain. Kepala dserah yang berasal dari partai A dan wakil kepala daerah yang berasal dari partai B kebanyakan tidak bisa menyelesaikan kepemimpinan mereka diakhir periode dengan hubungan harmonis," ujarnya.

Ia menjelaskan, ada yang baru menjabat tiga bulan sudah konflik. Jika kepala daerah dan wakil kepala daerahnya konflik, maka akan berdampak buruk bagi pelayanan publik.

"Penggabungan beberapa parpol dalam mengusung kepala daerah juga banyak mengandung sisi buruk. Pengalaman pada pilkada sebelumnya, ada parpol dan anggota DPRD diduga memperjualbelikan kursinya kepada bakal calon agar ketentuan persyaratan dapat terpenuhi," katanya.

Ketiga, dapat juga mempertimbangkan kelembagaan partai politik pengusung. Pilpres dan Pilkada memiliki dinamika politik yang berbeda.

Salah satu kekuatan calon pilpres adalah kekuatan relawan. Posisi parpol tidak begitu efektif. Namun di pilkada, dinamikanya sangat lain.

Peran partai masih sangat dominan. Sehingga kelembagaan parpol sangat berpengaruh.

Parpol yang memiliki kelembagaan organisasi yg rapih, kuat dan terstruktur maka akan mempengaruhi mobilisasi dan konsoloadasi dlm pemenangan.

Keempat, perlu juga mempertimbangan relasi sosial calon dengan lembaga-lembaga sosial, keagamaan dan kemasyarakatan.

"Figur yang terikat secara struktural dgn organisasi kemasyarakatan dan keagamaan akan kuat mempengaruhi elektabilitasnya," katanya. ***

 

Editor: Budyanto Hamjah

Sumber: Teras Gorontalo


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x