GEGER! Usai Kritik Habis Politik Indonesia, Bule Asal Australia Sebut Sosok Ini Pantas Jadi Presiden, Siapa?

30 Oktober 2022, 09:30 WIB
GEGER! Usai Kritik Habis Politik Indonesia, Bule Asal Australia Sebut Sosok Ini Pantas Jadi Presiden, Siapa? /Tangkap layar YouTube Refly Harun/

TERAS GORONTALO – Politik Indonesia adalah merupakan kedaulatan rakyat yang termanifestasi dalam pemilihan parlemen dan Presiden setiap tahun.

Pada prinsipnya, budaya politik sebagai salah satu unsur atau bagian adat dan kebudayaan, merupakan satu di antara sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekankan.

Ada perbedaan antara sistem politik Indonesia dan negara demokratis lainnya, yang di antaranya adalah keberadaan MPR (Majelis Perwakilan Rakyat), yang telah menjadi ciri khas dan kearifan lokal Indonesia.

Belum lagi ada MK, yang juga berwenang dalam mengadili sengketa hasil pemilihan umum, dan bentuk negara kesatuan yang menerapkan prinsip-prinsip federalism seperti adanya DPD.

Dalam segmen Best Statement pada kanal YouTube Refly Harun, seorang bule atau Warga Negara Asing (WNA), mengkritisi politik di Indonesia.

Ternyata tak hanya kita sebagai warga pribumi yang turut menyoroti kondisi politik negara ini, namun orang asing yang telah lama menetap di Indonesia, juga turut menjadi saksi bisu.

Baca Juga: Bocoran One Piece 1065 : Rematch Arc Water Seven Tersaji di Egghead, Nyawa Vegapunk Dalam Bahaya

Sebagaimana yang kita ketahui, sejak disahkannya UUD 1945 oleh PPKI (Panitia Pelaksana Kemerdekaan Indonesia) di tanggal 18 Agustus, selang beberapa bulan kemudian, sistem pemerintahan berubah.

Tepatnya perubahan ini terjadi di sekitar bulan November 1945, dengan Perdana Menteri Syahrir, Amir Syarifuddin, lalu Moh Hatta, sampai dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun 1949.

Tak hanya berhenti disitu saja, proses terus berlanjut hingga akhirnya Indonesia menjalani sistem pemerintahan parlementer.

Pria yang dipanggil Kevin Evans oleh Refly Harun ini menyebutkan, bahwa warga negara Indonesia umumnya justru menguburkan setiap lapisan sejarah yang pernah ada.

Padahal, untuk mengetahui apakah pemerintahan saat itu sukses atau gagal, baru akan terlihat dari perspektif waktu, perenungan, dan juga pemikiran yang mendalam.

Masyarakat Indonesia menurutnya, sejak dulu telah terbiasa dengan kondisi di mana mereka tidak diperbolehkan untuk mempertanyakan apa yang terjadi saat itu.

Apalagi berusaha untuk mengorek kegagalan di masa lalu, yang sejak kecil telah diajarkan secara paten seperti itu.

WNA asal Australia ini menjelaskan seharusnya pemerintah maupun warga negara Indonesia, mencari tahu apa penyebab yang sebenarnya, dan apa kelemahan yang membuat kegagalan itu terjadi.

“Satu yang selalu saya dapat dari teman-teman di Indonesia, kalau saya bicarakan tahun 50-an, yang selalu muncul sepertinya reaksi otomatis, karena sudah diajarkan begitu mungkin. ‘Oh, ini gonta-ganti pemerintah tiap saat. Kacau, kacau, kacau’,” tutur Kevin Evans.

Baca Juga: Banjir Dukungan, Usai DPW PPP Papua Barat Kini DPW PPP Lampung Deklarasi Ganjar Pranowo Sebagai Capres.

Dia kemudian menjelaskan situasi saat dirinya mencoba untuk membandingkan kondisi setelah Indonesia merdeka, dengan negara asalnya Australia. 

Menurutnya, baik Indonesia maupun Australia sama-sama mengalami pergantian Perdana Menteri sebanyak 7-8 kali, dalam 10 tahun pertama berdaulat.

Akan tetapi bedanya di sini, ketika Australia pertama kali berdaulat, Undang-Undang Dasar sudah jelas dan telah disepakati oleh referendum.

Arah negara juga sudah jelas, atau bisa dikatakan jika sejak awal Australia telah memutuskan untuk menjadi negara Demokratis Terbuka Liberal.

Pun untuk meraih kemerdekaan, negara asal Kangguru itu tidak harus sampai berperang melawan kejahatan penjajah terlebih dahulu. 

“Ibaratnya pemerintah pertama di Australia yang dibentuk, ‘kapalnya’ sudah berlayar dengan enak di gelombang yang tenang,” ungkap Kevin Evans.

Sedangkan di Indonesia sendiri, segala sesuatunya belum jelas disusun dengan rapi, tapi telah berdaulat dan meraih kemerdekaan.

Tak hanya itu, sistem pemerintahan juga belum ditentukan, apakah akan menjadi negara Islami, atau Pancasila, ataupun Sosial Ekonomi.

Demikian juga dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya telah hancur, sejak masa kependudukan penjajah asing di tanah air.

“Di Indonesia, ‘kapalnya’ enggak jelas. Sistem pemerintahan itu sama sekali, mau negara Islam, Pancasila, Sosek (Sosial Ekonomi), belum dijawab. Penjajah dulu tidak tahu diri, jadi malah perang. Negara baru, diduduki secara militer. Ekonominya sudah hancur sejak akhir 20-an atau 30-an, akibat dampak dari kependudukan dan revolusi,” beber Kevin Evans.

Kemudian perbedaan lain yang mencolok juga dapat dilihat dari revolusi sosial, yang dialami Indonesia, namun ternyata di Australia tidak ada hal semacam itu.

Memang ada proses transformasi, tapi tidak untuk revolusi sosial.

“Jadi semua itu menumpuk, tapi hasilnya sama. (Sama-sama) 7-8 kali (pergantian) pemerintahan,” imbuh Kevin Evans.

Hal terpenting di tahap awal pemerintahan atau parlemen pertama Australia, ketika itu adalah belum ada yang tahu mana kawan dan mana lawan, jadi persaingan politik pun belum terlalu jelas terlihat.

Sehingga kemudian dilakukan beberapa transformasi partai politik saat itu.

Kesamaan etnik juga menjadi faktor pendukung utama lainnya, yang membuat penduduk Australia lebih mudah untuk menerima dasar negara yang sama.

Itu sebabnya, proses adaptasi hingga tercapainya pemerintahan yang stabil seperti saat ini memang cukup menyita waktu.

“Buat saya, orang Indonesia terlalu kejam pada dirinya, untuk menganggap itu (pemerintahan di era tahun 50-an) gagal. Tapi apa memang itu gagal? Dan kira-kira problem (sebenarnya) apa?” ujar Kevin Evans.

Indonesianis asal Australia ini pun menyebutkan bahwa ada 2 faktor yang menjadi problem utama dalam tatanan negara di era tahun 50-an itu, yakni :

1.Tidak Ada Senat atau Dewan Perwakilan Daerah atau Bikameral.

Ketika itu, terjadi perbedaan pada saat warga negara Indonesia memilih partai yang akan mewakili mereka.

Sebagai contoh misalnya, partai dengan jumlah suara tertinggi kala itu adalah PKI.

Karena kurangnya jumlah suara yang dimiliki oleh penduduk dari luar pulau Jawa, maka akhirnya setiap keputusan dan kebijakan kemudian diserahkan sepenuhnya kepada partai pemilik suara terbanyak di dewan.

Dengan kata lain, masyarakat dari luar pulau Jawa sudah lebih dulu kalah perang sebelum masuk dalam dewan, akibat tidak adanya perimbangan.

Padahal jika seandainya saat itu sudah ada perimbangan geografis, memiliki senator dari kalangan minoritas, pasti keseimbangan bisa tercipta.

“Bagi saya, demokrasi lebih aman kalau ada perimbangan antara perwakilan geografi dengan perwakilan demografi,” jelas Kevin Evans.

  1. Sosok Presiden

Hal ini sepertinya selalu menjadi masalah utama ketika sebuah negara baru terbentuk, atau baru merdeka dari penjajahan.

Sosok Presiden pendiri itu biasanya menjadi figur yang bersejarah di mata penduduknya.

Permasalahan di sini, ketika itu di Indonesia, sosok Presiden yang dianggap sebagai figur tidak dipilih secara langsung.

Apalagi sekitar tahun 1951, Presiden yang menjabat saat itu sempat menyampaikan sebuah pidato penting di Kalimantan Selatan yang mengundang protes dari masyarakat.

Di mana ketika itu, Presiden menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu negara Islam.

“Wajarlah dari partai-partai khususnya Masyumi waktu itu, langsung mengkritik habis-habisan. ‘Politik itu bukan urusan. Anda kan hanya Presiden. Politik itu urusan parlemen’,” terang Kevin Evans, seolah menirukan obrolan yang terjadi di masa itu.

Bagaimana bisa para perwakilan rakyat itu menjadi penyambung lidah jika tidak diberikan suara?

Tentu seharusnya mereka diberi suara, agar bisa menjadi penyambung lidah ke masyarakat.

“Saya rasa budaya politk Indonesia begitu. Saya rasa rakyat enggak mau Presiden yang hanya simbolis. Tapi, segala tetek-bengek administrasi, itu urusan dewan,” jelas Kevin Evans, dikutip Teras Gorontalo dari kanal YouTube Refly Harun, Jumat, 28 Oktober 2022.

Menurutnya, Presiden Indonesia itu tidak boleh hanya bertindak sebagai seorang aspirator saja, namun juga bisa bertindak sebagai Komando Wacana.

Komando Wacana yang dimaksud Kevin di sini adalah seseorang yang mampu untuk mengkolaborasikan visi kebangsaan yang besar dan mengelola simbol-simbol kenegaraan secara sakral.

Bukan hanya untuk kepentingan politik sesaat.

“Jadi bisa memisahkan posisi sebagai Kepala Negara, dari posisi sebagai pengelola pemerintahan,” tukas Kevin Evans.

Intinya adalah, sebagai seorang Kepala Negara, dia harus menjaga kohesivitas, tapi sebagai Kepala Pemerintahan, harus bisa mengambil keputusan.

Keputusan ini tentunya untuk kepentingan pertimbangan ekonomi, manajemen, dan lain sebagainya.

“Setiap putusan yang diambil pemerintah, ada pihak yang suka, ada pihak yang tidak suka. Ada pihak yang menang, ada pihak yang kalah. Itu alami. Enggak bisa enggak,” kata Kevin Evans.

Oleh karena itu, jika ada pihak yang tidak bisa menerima situasi tersebut, tidak boleh langsung disatukan dengan negara, karena akan menciptakan bahaya.

Orang tersebut harus dipisahkan, dan tidak diperbolehkan untuk membicarakan isu yang dapat menimbulkan perpecahan, melainkan membahas hal yang dapat menyatukan negara.

Lebih lanjut lagi, Kevin menjelaskan bahwa sebenarnya di era tahun 1950-an, Indonesia telah mencapai beberapa bentuk kesuksesan.

Seperti misalnya proses dimobilisasi prajurit atau tentara, dan milisi, atau pengelolaan booming resources untuk mendukun Perang Korea.

Sebenarnya setalah tahun 1955, Pemerintahan Indonesia sudah cukup stabil, hanya saja ada masalah keseimbangan antara kekuatan politik di daerah dengan wilayah pusat, hingga membuat mereka frustasi.

Ini terlihat pada kebijakan yang diterapkan kala itu, yang didasarkan pada penguasaan demografi, namun justru menimbulkan kerugian bagi pihak di luar pusat pemerintahan.

“Contoh, Rupiah harus kuat, harus perkasa. Enak-enak aja didengar. Masalahnya, Rupiah naik, Rupiah kuat, konsekuensi apa?” ucap Kevin Evans. 

Seandainya penduduk bertindak sebagai importir, tentunya akan memberikan dampak baik, karena harga barang asing menjadi murah.

Tapi berbeda hasilnya jika masyarakat menjadi eksportir, akan cukup berat untuk dilakukan, karena persaingan yang cukup ketat.

Oleh karena itu, sangat perlu untuk diperhatikan darimana produk ekspor terbesar berasal, dan darimana saja konsumennya berada.

Misalkan jika ingin membangun industri-industri baru, contohnya tembakau, dengan bahan baku cengkeh.

Tidak hanya mendirikan banyak pabrik, namun Indonesia juga perlu untuk memegang kendali atas harga cengkeh lokal di pasaran.

Apalagi ketika sumber utama cengkeh berasal dari pulau Sulawesi, tapi justru pabrik besar penghasil tembakau (rokok) berada di Jawa.

“Jadi, banyak kebijakan tidak sengaja, tapi efeknya adalah merugikan kepentingan luar,” pungkas Kevin Evans.***



Editor: Viko Karinda

Sumber: YouTube Refly Harun

Tags

Terkini

Terpopuler