Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 2

19 Juni 2022, 16:38 WIB
Cerbung (Cerita Bersambung) - Toxic Relationship Part 2 /Pixabay/Anemone123

TERAS GORONTALO – Pernah tidak kalian merasa bahwa sahabat itu bisa menyadari segala sesuatu yang kita sembunyikan?

Entah itu kesedihan kita, masalah kita, atau bahkan perlakuan buruk yang kita terima dari orang lain.

Sepandai apapun kita menyimpannya, sahabat entah bagaimana bisa tahu dan mengerti bahwa sesuatu telah terjadi.

Kelanjutan dari episode toxic relationship, kembali disuguhkan oleh TerasGorontalo lewat sudut pandang yang berbeda.

Yuk disimak kisahnya...

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) Toxic Relationship Part 1

Toxic Relationship Part 2: Sahabat Selalu Tahu Segalanya

Dengan penuh keraguan kulangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah ini. Ada rasa rindu yang membuncah. Sudah cukup lama rupanya, aku tidak datang bersilaturahmi kesini. Ya, sejak saat itu. Saat dimana aku memilih untuk bersama dengan bang Adit.

“Assalamu’alaikum, Vanya…”, terdengar derap langkah yang tergesa-gesa dari balik pintu.

“Wa’alaikumsalam...”, sebuah wajah yang teramat kurindukan menyambut kedatanganku. Ada sedikit keterkejutan yang nampak. Namun itu semua terhapus dengan senyum hangat dari bibir mungilnya.

“Kinara? Kapan kamu tiba? Kok ‘gak ngabarin aku?”

“Iya, maaf. Beberapa hari yang lalu aku ganti nomor lagi & belum sempat ngasih tau kamu. Aku juga ke sini karena ada tugas dari kantor.”

Baca Juga: Cerpen: Persahabatan Itu

“Hmm… Sudah kuduga. Entah ini yang ke berapa kalinya kamu ganti nomor, Kin. Aku sendiri sampai bingung.”

“Maaf, Van… Beneran lupa aku untuk ngasih tau ke kamu.”

“Yaudah yuk, masuk dulu.”

Aku memilih duduk di sebuah sofa mungil dekat jendela. Semua masih sama, tak banyak yang berubah dari rumah ini. Sound system yang menjadi benda kesayangan ayah Vanya pun masih berdiri kokoh di tengah ruangan. Hanya warna dindingnya saja yang diperbaharui.

Hijau pastel. Warna favorite Vanya.

Baca Juga: Cerpen: Mimpi yang Terasa Nyata

Betapa aku merindukan suasana di rumah ini, yang selalu hangat & penuh keceriaan. Setiap kali aku datang kesini, mama Vanya pasti mewajibkanku untuk nginap , meski hanya untuk 1 malam saja.

“Angin apa yang membawa langkahmu ke sini?”

“Ya gitu deh. Setiap awal bulan kan mau ‘gak mau, semua karyawan di kantorku harus siap untuk ditugaskan ke luar kota. Untungnya bulan ini aku dapat surat tugas ke sini, jadi bisa sekalian mampir.”

“Aku pikir kamu udah lupa sama kampung halaman sendiri, Kin. Emang ‘gak bakal ada yang marah apa kalau kamu ke rumahku?”, pertanyaan yang cukup menyesakkan hati terlontar darinya.

Sudah kuduga, dia pasti akan bertanya seperti itu. Komunikasi yang dulu rutin kami lakukan, sekarang nyaris hilang tak berbekas.

Baca Juga: Cerpen: Sahabat untuk Selamanya

Ya, siapalagi penyebabnya kalau bukan bang Adit. Hanya karena beberapa kalimat tentang masa lalu yang tak sengaja disampaikan Vanya lewat chat terakhirnya, bang Adit pun langsung melarang keras aku untuk menghubungi dia, terkecuali jika ada hal yang mendesak.

Miris memang, karena Vanya adalah sahabatku sejak kami masih balita.

“Maaf yah, hanya karena hal sepele persahabatan kita jadi seperti ini. Aku sendiri udah ‘gak tau harus memberikan alasan apalagi sama bang Adit supaya dia ‘gak membatasi komunikasi kita, Van.”

“It’s ok, Kin. Aku ngerti posisi kamu saat ini. Dengan kamu datang kesini aja aku lega, setidaknya kamu masih dalam keadaan utuh, tanpa kurang suatu apapun. Sejak kamu susah untuk dihubungi, aku selalu bermimpi yang aneh-aneh. Entah itu tentang kamu yang menangis, disiksa, dihajar habis-habisan, pokoknya ‘gak tenang pikiranku, Kin.”

Begitu kuatnya feeling kamu, Van. Apa yang kamu mimpikan itu memang benar sudah terjadi kepadaku, hanya saja bibir ini tak sanggup untuk menceritakannya.

Baca Juga: Cerpen - Rindu Langit

Aku tak ingin menambah beban pikiranmu. Cukup sekali saja aku membuatmu menangis, disaat aku memilih untuk bertahan dengan bang Adit. Aku ‘gak mau lagi melihat kesedihan di wajah ayumu itu.

“Kamu ‘gak perlu khawatir, Van, aku baik-baik aja. Bang Adit juga udah berubah kok. Dia ‘gak pernah kasar lagi seperti di awal kami bersama. Meski terkadang dia suka mengomel untuk hal yang sepele.”

“Semoga saja begitu, Kin. Karena kalau dia masih kasar terhadap kamu, aku ‘gak akan segan-segan menyeret dia ke Kantor Polisi.”

“Trust me, Van. ‘Gak mungkin aku bertahan jika sikap bang Adit masih seperti itu.”

“Oke, kita skip bahas tentang dia. Yuk ikut aku, kita ngobrol di kamar aja.”, perlahan tangan yang halus itu menarik lenganku untuk ikut bersamanya. Tanpa kusadari, suara desisan keluar dari bibirku. Hal yang paling kutakutkan pun terjadi.

Baca Juga: Cerpen Inspiratif Berjudul The Little Hero, Kisah Seorang Anak Kecil yang Mampu Mengamalkan Tolong-menolong

“Kamu kenapa, Kin? Kok wajahmu meringis gitu? Kayak lagi nahan nyeri aja.”, sebuah tanda tanya besar jelas nampak diwajahnya.

“’Gak ada apa-apa, Van. Hanya saja kamu terlalu kuat menarik lenganku, jadi agak perih.”

Sorot mata itu semakin menunjukkan rasa tidak percaya. Bagaimana tidak, kami jelas sama-sama tau jika tarikan itu tidak cukup kuat untuk menimbulkan rasa perih di lenganku.

Tak ayal lagi, Vanya segera meraih tanganku dan langsung menyingkap lengan bajuku. Tatapan matanya yang tadi penuh dengan tanya, sekarang sarat akan emosi. Emosi yang dapat membunuh siapapun yang berani menatapnya.

“Tolong kamu jelaskan, Kin, ini apa? Kenapa lenganmu penuh lebam seperti ini? Jangan coba-coba bohong, karena aku tau lebam ini masih baru.”

Baca Juga: Cerpen: Kisah Mesin Tik Tua yang Jatuh Cinta Kepada Pemiliknya

Aku hanya bisa menunduk, tak berani menatap wajahnya. Aku tau, jika tatapan kami beradu, dia bisa melihat jawaban itu di mataku.

Tetes demi tetes airmata mengenai tangan Vanya yang masih erat menggenggam lenganku.

“Ini yang kamu bilang Adit udah berubah, Kin? Apa ini yang kamu maksud dia cuma ‘mengomel’ untuk hal yang sepele? Kamu sadar ‘gak siy, ini masih dikategorikan kekerasan? Sesepele apapun itu, jika sudah meninggalkan bekas, tetap saja tidak bisa ditolerir, Kin,” amarah itu akhirnya meluap.

Amarah yang mungkin sudah berusaha dia tahan selama berbulan-bulan. Amarah yang tersimpan sejak dia tau bang Adit selalu bersikap kasar kepadaku.

“A-aku...”

Baca Juga: Cerpen: Hana si Teratai di Tengah Lumpur

“Cukup, Kin. Kamu ‘gak perlu menjelaskan apapun. Aku ‘gak mau mendengarkan pembelaan kamu untuk Adit. Jika setelah mendapat perlakuan ini kamu masih tetap memilih untuk bersama dia, aku ‘gak akan ngomong apa-apa lagi. Terserah kamu, aku ‘gak peduli.”

Lengan itu terlepas dari genggamannya. Ada kekosongan yang menyesakkan sudut hati kecil ini. Seperti telah kehilangan pelampung terakhir yang bisa menjadi penyelamatku.

“Sini ikut aku, lenganmu itu perlu diobati. Bunda sebentar lagi pulang & aku ‘gak mau dia melihat lebam-lebam ini. Dia mungkin bukan orang yang melahirkanmu, Kin, tapi baginya, kamu itu sudah seperti anak kandungnya sendiri.”

Aku hanya bisa mengangguk sebagai tanda persetujuan. Lidahku kelu, tak mampu berkata-kata lagi. Sebab aku sadar, setiap kalimat yang keluar dari bibir ini, pasti hanya akan menambah kesedihan di wajahnya.

Sahabatku, semarah apapun dirimu, tapi kamu masih tetap perhatian kepadaku. Aku tau, sebesar apapun emosi yang kamu pendam, itu tak akan bisa mengikis rasa sayang yang kamu miliki untukku.***

Editor: Sutrisno Tola

Tags

Terkini

Terpopuler