Cerpen - Rindu Langit

- 17 Juni 2022, 21:07 WIB
Cerpen - Rindu Langit
Cerpen - Rindu Langit /Pixabay/efes

TERAS GORONTALO – Masih ingatkah kalian dengan pelajaran zaman sekolah dulu tentang cerpen?

Apa ada yg masih ingat juga dengan definisi cerpen?

Menurut KBBI, cerpen berasal dari dua kata. Kata pertama yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi.

Kata kedua adalah relatif pendek yang berarti kisah yang diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja.

Dalam kesempatan kali ini, TerasGorontalo kembali menyuguhkan sebuah cerita fiksi, tentang hubungan saudara kembar, di mana salah satunya harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan.

Baca Juga: Cerpen Inspiratif Berjudul The Little Hero, Kisah Seorang Anak Kecil yang Mampu Mengamalkan Tolong-menolong

RINDU LANGIT

“Lang, bangun. Temenin Mama ke bandara,” sebuah teriakan nyaring terdengar di depan pintu kamarku.

Rasanya malas kalau harus bangun pagi di hari libur kayak gini. Tapi kalau ‘gak bangun juga, bisa-bisa teriakan itu tambah nyaring terdengar. Saking nyaringnya, cukup membuat kaca jendela bergetar. Begini nih kalau Mama ada maunya, harus cepat dilaksanakan, kalau ‘gak mau Pompey kembali meletus.

“Bentar, Ma, Langit siap-siap dulu,” jawabku dengan suara serak, sambil menguap. Entah siapa orang yang mau dijemput Mama hari ini. Setiap kali ditanya, jawaban yang kudapat hanya “kerabat jauh”. Padahal kalau dipikir, mana ada saudara jauh kami yang tinggal di KL which is Kuala Lumpur.

Butuh waktu ± 25 menit sebelum kami menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Hasanuddin ini. Salah satu keuntungan karena letak rumah yang cukup dekat dengan Bandara, tapi berarti kemalangan buatku karena harus siap 24 jam ketika dibutuhkan.

“Ma, jujur deh, sebenarnya siapa sih yang mau kita jemput?” tanyaku memaksa. Cukup kesal juga karena me time jadi terganggu gegara harus menjemput makhluk misterius ini.

Baca Juga: Cerpen: Kisah Mesin Tik Tua yang Jatuh Cinta Kepada Pemiliknya

“Nanti juga kamu bakal tau kok. Sengaja Mama ‘gak kasih jawaban yang jelas biar surprised,” jawabnya, mengedipkan sebelah mata layaknya ABG yang sedang menggoda.

Kayak gini nih efek bergaul sama sosialita-sosialita, Mama jadi ikut-ikutan suka bikin surprised. Dikit-dikit surprised, mau gerak dikit surprised, malah mau ngasih uang bensin aja kadang pake surprised. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala liat tingkah Mama.

Kulayangkan pandangan kearah Terminal Kedatangan International, berharap dapat mengenal sosok wajah yang dimaksud “kerabat jauh” oleh Mama. Sampai akhirnya mataku tertumbuk pada satu sosok yang cukup familiar dalam kamus memoriku.

Roda gigi otakku berjalan, berusaha mengingat nama yang ada dalam ingatanku. Sulit bagiku untuk percaya, tapi sosok yang ada di hadapanku adalah benar dirinya. Rindu… Gadis Indo-Melayu yang periang namun tak banyak bicara, lincah tapi anggun, keras namun lemah-lembut, pintar nan bijaksana. Semoga ini hanya mimpi. Semoga bukan dia orang yang mau dijemput Mama hari ini.

“Hai sayang. Long time not see. Apa kabar?” bak disambar petir kudengar suara Mama menyapa Rindu. Tangan Mama terulur, hendak merangkul, seolah-olah Rindu adalah anaknya yang sudah sangat lama tidak pulang ke rumah. Mimpi burukku serasa jadi kenyataan.

“Alhamdulillah.. Rindu sehat, mak cik. Lama ‘gak ketemu. Mak cik sendiri apa kabar?”, suara alto yang merdu keluar dari mulutnya. Dia pun balas memeluk Mama dengan eratnya.

Baca Juga: Cerpen: Hana si Teratai di Tengah Lumpur

“Alhamdulillah, tante juga sehat. Anyway, jangan panggil mak cik donk, kesannya tua banget. Panggil aunty aja yah,” balas Mama, merangkul pundak Rindu, sambil berjalan kearah parkiran. Dilirikny aku yang berjalan cukup jauh dari mereka. Matanya mendelik tidak suka, memaksaku untuk segera menyusul.

“Langit, tolong bawain barang-barangnya Rindu yah. Kasian kalo dia harus bawa sendiri, kan berat tuh,” jelasnya sambil sedikit memelototkan mata kepadaku. Mau ‘gak mau, suka ‘gak suka, aku harus menuruti perintahnya, jika masih ingin diberikan uang bensin.

Sebenarnya barang bawaan Rindu sedikit, karena hanya 1 koper saja, itupun beratnya tidak seberapa. Mungkin itu hanya akal-akalan Mama biar aku berjalan di samping Rindu.

“Bagaimana keluargamu di KL? Udah lama juga aunty ‘gak kesana, ketemu sama mereka. Terakhir kesana 1 tahun yang lalu.” ujar Mama, melanjutkan pembicaraan. Pandangan Mama menerawang. Ada nada sedih terdengar dari suaranya, hanya saja aku tak tau apa sebabnya.

“Alhamdulillah semua family Rindu sehat juga kok, aunty. Memang udah lama juga aunty ‘gak datang ke KL. Mereka semua selalu tanya aunty, kapan kumpul bareng lagi,” jelasnya sambil tersenyum.

Kusempatkan menatap Rindu lewat kaca spion mobil. Binar matanya sedikit meredup. Seperti ada pedih yang terucapkan dalam sorot mata itu.

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) Toxic Relationship Part 1

“Memang aunty ada rencana ke KL akhir tahun ini, tapi belum tau kapan. Aunty masih sibuk sama beberapa event di akhir tahun. Mungkin kalo semuanya udah fixed, baru aunty berangkat,” jawab Mama. Matanya terlihat berkaca-kaca, seolah sedang menahan tangis yang hendak tumpah.

“Iya, aunty, Rindu ngerti. ‘Gak apa-apa, mereka semua tau kok, akhir tahun begini aunty pasti sibuk. Jangan risau, ok, aunty?” Rindu mencoba menetralisir keadaan.

Sepertinya dia tau perubahan nada dalam suara Mama. Ada apa ini? Benakku dipenuhi rasa ingin tau yang begitu besar. Bisa kurasakan sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dariku, tapi entah apa.

Bunyi klakson yang bersahut-sahutan membuyarkan lamunanku. Rupanya lampu lalu lintas kembali berwarna hijau. Saatnya mengembalikan konsentrasiku mengendarai mobil di tengah padatnya lalu lintas pagi ini.

Suara kilat menggelegar membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Sudah sore rupanya. Kegiatan kampus selama 3 hari ini ternyata cukup menyita waktu dan menguras tenagaku, hingga aku lupa dengan keberadaan Rindu di rumah. Hanya berpapasan ketika sarapan, atau saat akan ke dapur.

Kulirik jam dinding hitam Felix The Cat yang menempel dengan nyamannya di atas meja belajarku. Aku terlonjak dari tempat tidur, nyaris jatuh terjengkang karena hilang keseimbangan. Sudah masuk Maghrib, kenapa tidak ada yang membangunkanku?

Tidak seperti biasanya. Tidak ada suara nyaring Mama yang uring-uringan mengetuk pintu kamarku agar aku terbangun. Aku harus bergegas sebelum waktu Maghrib ini berlalu.

Bunyi perut yang keroncongan dan aroma masakan yang begitu sedap memancing diriku untuk bergegas ke arah ruang makan. Sayup-sayup kudengar suara orang bercengkerama dari arah dapur. Sepertinya itu suara Mama dan Rindu. Ternyata mereka sedang masak bersama. Apa yang mereka perbincangkan? Benakku kembali diliputi kejadian sepanjang perjalanan dari bandara menuju rumah, 3 hari yang lalu.

“Aunty harus cerita semua ke Langit, apa yang sudah terjadi. ‘Gak baik jika hal ini kita diamkan. Sampai kapan aunty akan merahasiakan semuanya?” suara Rindu terdengar sedih. Tangannya terhenti menuangkan sup dari panci ke dalam mangkok. Sepertinya dia berusaha meyakinkan Mama untuk menceritakan sesuatu kepadaku. Tapi apa?

“Maaf Rindu, bukannya aunty ingin menyembunyikan semuanya. Tapi Langit sangat sensitif jika kita menyebut nama Elang. Rindu tau kan seperti apa mereka berdua. Aunty ingin sekali cerita semua ke Langit, tapi ‘gak tau harus mulai darimana,” suara Mama terbata-bata saat membalas perkataan Rindu. Ada airmata menggenang di pelupuk matanya.

Makanan yang mereka masak sudah siap, tapi tak ada satupun yang beranjak meninggalkan dapur. Nama Elang yang meluncur dari bibir Mama kembali menghantarkan mimpi buruk yang selama ini menghantuiku.

Elang..

Saudara kembarku. Elang, yang tinggal bersama Papa, setelah kedua orang tua kami memutuskan untuk berpisah. Elang yang tampan. Elang yang pintar. Elang yang berani. Elang yang tau segalanya. Elang yang selalu dimanja Papa dengan semua fasilitas dan teknologi. Bahkan dia, orang yang dipilih oleh Rindu sebagai pasangannya.

Sosok yang begitu sempurna. Itu jawaban Rindu padaku saat aku bertanya apa alasannya memilih Elang.

Rindu yang adalah sahabatku sejak duduk di bangku kelas tujuh. Tau akan perasaanku tapi tetap memilih meninggalkanku demi Elang. Sebenarnya ini yang aku takutkan ketika melihat sosok Rindu di bandara. Masa lalu yang kembali datang menaburkan garam di atas lukaku yang tak pernah kering.

Kuberanikan diri melangkah masuk ke dapur. Tekadku sudah bulat. Harus kutuntaskan hari ini juga apa yang sudah menggerogoti hatiku selama 3 tahun terakhir. Aku tak mau lagi hidup bersama luka hati yang tidak terobati.

“Ma, ada apa ini sebenarnya? Langit dengar Mama menyebut nama Elang. Kenapa Mama menyebut nama orang yang sudah menyakiti Langit?” suaraku bergetar karena menahan amarah. Sulit rasanya menyebut nama Elang tanpa dibayangi oleh pengkhianatan yang dia lakukan.

“Langit, tolong jangan paksa Mama untuk cerita. Mama ‘gak sanggup jika harus mengorek kembali masa lalu itu,” kata Mama, menolak permintaanku untuk memberikan penjelasan.

Kepedihan terlihat sangat jelas dalam sorot matanya. Aku yang merasa putus asa mencoba untuk memohon kepada Mama. Tapi sebelum permohonan ittu terucapkan, Rindu langsung menarik lenganku untuk duduk di sampingnya. Mama hanya bisa menatap Rindu dengan wajah memohon. Tapi sepertinya tekad Rindu sudah bulat. Tak diindahkannya tatapan Mama.

“Langit, maaf kalo aku harus mengambil-alih pembicaraan ini. Aku ngerti banget kalo kamu masih marah sama Elang, which is your twin brother. Aku juga ‘gak akan memaksa kamu. Aku cuma ingin memberikan kamu surat dari Elang. Dia minta aku untuk menyimpan surat ini dan memberikan langsung ke kamu saat kita berjumpa. Amanah Elang sudah aku sampaikan. Sekarang terserah kamu akan diapakan surat itu. But if I may tell you this, aku sangat berharap kamu mau membacanya. Kamu bisa menemukan jawaban dari semua pertanyaanmu di dalam surat itu,” jelas Rindu, memberikan sebuah amplop putih ke dalam genggaman tanganku.

Tanganku gemetar. Pikiranku berkecamuk antara ingin merobek semua surat itu atau membacanya. Namun sekuat apapun amarah ini bergolak, tetap tak mampu menghalau akal sehat yang masih tertinggal. Perlahan kubuka amplop putih itu, mengambil surat yang ada di dalamnya.

Untuk Langit-ku..

Assalamu’alaikum… Lang, gimana kabarmu? Aku harap kamu selalu sehat disana. Mungkin saat kamu membaca surat ini, kita sudah tidak bisa bertemu lagi. Aku sudah pergi jauh, Lang. Elang-mu ini sudah meninggalkan Langit-nya yang biru membentang. Maaf karena tidak pernah memberitahumu akan kondisiku selama ini. Tapi kuharap kamu mau memberikan sedikit saja maaf darimu. Aku tau kamu marah ketika aku merebut Rindu-mu. Aku mengerti jika kamu tidak lagi menganggap aku sebagai saudaramu, bahkan kamu tak ingin berbicara denganku. Tapi akupun saat itu mencintai Rindu, sama besar dengan cintamu untuknya. Pikirku, biarlah untuk saat itu aku bisa merasakan bahagia bersama Rindu, walau hanya sekejap. Maafkan aku yang begitu egois mengambil dia dari sisimu, karena tidak sepantasnya aku merebut dia. Sekarang, karena aku telah pergi jauh, aku ikhlas jika kalian kembali merajut kasih bersama. Karena aku tau dengan pasti, meskipun tak terucap lewat kata, tapi dalam tatapan matanya, dalam sudut hatinya, hanya ada kamu, Lang. Terima kasih karena sudah begitu sabar menghadapiku selama ini. Aku titip Rindu padamu. Tapi jika kamu sudah menemukan kebahagiaan bersama orang lain, tolong pastikan Rindu juga bahagia. Karena aku tau, Rindu hanya ada untuk Langit. Terima kasih Langit-ku, karena kamu, Elang-mu ini bisa bahagia.

From KL with love
Your Twin, Elang

Tetes demi tetes air mata jatuh bergulir di pipiku. Seonggok penyesalan bersemayam dalam sudut hatiku. Menghambat aliran udara yang masuk ke rongga paru-paruku. Sesak.

Sungguh aku tak pernah tau akan kondisi Elang selama ini. Tentang pekerjaanya, kesehariannya, bahkan kesehatannya. Aku hanya terpaku pada kehampaan yang tercipta ketika mereka mengkhianatiku.

Maafkan aku, Elang. Seandainya aku tau, mungkin aku bisa menemani di saat-saat terakhirmu. Membuatmu jauh lebih bahagia dari sebelumnya.

“Mama, tolong antar Langit ziarah ke makam Elang, yah. Langit mau minta maaf karena selama ini ‘gak pernah ada buat Elang. Langit juga mau bilang kalo Langit udah lama maafin dia karena merebut Rindu. Langit ingin Elang tau kalo Langit ‘gak pernah dendam dengan dia,” pintaku berlutut di hadapan Mama, menggenggam tangannya yang begitu kecil dan rapuh.

Pantas saja sejak setahun belakangan Mama sering sakit-sakitan. Ternyata begitu besar beban yang selama ini dipikulnya. Maafkan anakmu ini, Ma, yang tidak peka dengan keadaan di sekitar.

“Iya, Lang. Nanti kita sama-sama pergi ke KL yah, ziarah ke makam Elang,” tangis Mama akhirnya pecah begitu mendengar permintaanku. Mungkin dia merasa lega, karena kebenaran itu akhirnya terungkap. Beban yang dipikulnya selama ini akhirnya berkurang.

“Terima kasih, Rindu. Kamu sudah memberikan kebahagiaan untuk Elang di saat-saat terakhirnya. Maafkan atas sikapku yang dingin kepadamu. Maaf karena aku terlambat untuk mengerti,” kugenggam tangannya, berharap dia bisa merasakan ketulusan dari perkataanku.

“’Gak apa-apa, Lang. Aku ngerti banget. Aku juga minta maaf karena selama ini udah ‘gak jujur sama kamu tentang kondisi Elang. Elang sendiri yang minta aku untuk diam, sebab dia ‘gak mau kamu bersedih. Katanya bisa-bisa hujan ikut turun kalo kamu bersedih,” ujarnya dengan seutas senyum terlukis di bibir.

Kurengkuh Rindu dalam pelukan, lalu kukecup keningnya. Tak terbayang besarnya derita yang harus dia lalui selama ini. Maafkan keegoisanku selama ini, Rindu. Memang awalnya aku kecewa dengan pilihanmu. Tapi sekarang aku mengerti, ada kebaikan di setiap keputusan yang kamu buat.

Aku akan membahagiakanmu, seperti halnya kamu telah membawa kebahagiaan untuk saudaraku. Elang… Rindu-mu kini bersama dengan Langit-mu. Aku doakan semoga kamu mendapatkan tempat yang terindah disisi-Nya.***

Editor: Sutrisno Tola


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x