Cerpen: Sahabat untuk Selamanya

- 18 Juni 2022, 17:46 WIB
Cerpen: Sahabat untuk Selamanya
Cerpen: Sahabat untuk Selamanya /Pixabay

TERAS GORONTALO – Cerpen selalu menjadi media bagi mereka yang ingin menyampaikan imajinya, atau sekedar berbagi cerita.

Karena tidak semua orang memiliki keberanian untuk mengutarakan pendapat ataupun isi pikiran mereka.

Tidak semua orang juga sanggup untuk menorehkan kisahnya pada selembar kertas kosong yang rapuh.

Cerpen kali diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulis, bersama salah seorang sahabat terbaiknya.

Penulis berharap banyak hikmah yang bisa diambil pembaca, saat membaca kisah ini.

Baca Juga: Cerpen - Rindu Langit

Sahabat untuk Selamanya

“Mikha…Yuuk sini.”, teriak sebuah suara dari arah belakang yang ternyata adalah Mozza

“Lho, kok malah kamu yang jemput? Mama sama Papaku kemana emang?”

“Sengaja aku yang nawarin buat jemput kamu, biar ‘gak ngerepotin om sama tante. Lagian kan kamu pulang karena “dipaksa” sama papaku.”

Aku hanya bisa ber-oohh ria sambil memonyongkan bibir. Memang benar sih, kepulanganku kali ini karena diminta sama Papa Mozza buat nemenin anaknya penelitian.

“Yaudah yuuk kuantar ke rumah, sekalian ngobrol. Udah lama juga ‘gak nge-gosip bareng kita. Padahal sama-sama kuliah di Makassar, tapi untuk ketemuan aja susahnya minta ampun. Ngalahin artis, lho..”

Baca Juga: Cerpen Inspiratif Berjudul The Little Hero, Kisah Seorang Anak Kecil yang Mampu Mengamalkan Tolong-menolong

Tawaku membahana mendengar ocehan Mozza. Lama ‘gak pulang ternyata jalanan di Manado udah semacet ini. Dari bandara ke rumah yang biasanya bisa ditempuh dalam 15 menit, sekarang bisa memakan waktu sampai 30 menit. Belum lagi dengan cuaca panasnya yang aduhai. Untung aja ada celotehan Mozza yang menemani perjalanan kami ke rumah.

“Mik, besok kujemput yah, pagi jam setengah 10. Awas lho kalo kamu telat bangun.”

Omongan Mozza membuyarkan khayalku. Ternyata sejak tadi aku memang ‘gak fokus sama cuitannya.

“Iya..iya…Baru juga ketemu, udah kumat aja bawelmu.”

“Yaudah, sampai besok yah.. Titip salam buat om sama tante, maaf aku ‘gak ikutan turun kali ini.”

Baca Juga: Cerpen: Kisah Mesin Tik Tua yang Jatuh Cinta Kepada Pemiliknya

Aku hanya bisa melotot melihat mobil Mozza melaju pergi, meninggalkan kepulan asap & bau oli yang menyengat. Bener-bener ‘gak berubah kelakuannya. Pantes aja kemana-mana harus ditemenin.

***************

Dentang jam terdengar 10 kali, pertanda bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WITA. Tapi masih belum juga ada tanda-tanda mobil si Mozza. What the hell… Bilang ke aku jangan ngaret, ‘gak taunya malah dia sendiri yang gitu.

“Sorry, Mik, aku telat bangun. Semalaman sibuk nyiapin list bahan penelitian yang mau kuambil di RSU.”

“Yowess, berangkat yuukk. Keburu siang, entar pegawai administrasi di RSU-nya udah pada ngilang lagi.”

Ternyata list yang disiapkan Mozza cukup panjang juga, kami harus rela bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan lainnya demi mendapatkan data yang diperlukan. Denting WA-ku terdengar, ada chat masuk.

Baca Juga: Cerpen: Hana si Teratai di Tengah Lumpur

(“Mik, jam berapa kita bisa ketemu?”)
Dari Rio ternyata….
(“Bentar lagi yah, ini si Mozza belum selesai ngumpulin data awal.”)
(“Oke.. Kabarin aja kalo udah selesai.”)
(“Oke.”)

Tepukan dipundak mengagetkanku, hampir saja HP-ku nyemplung ke selokan RSU.

“Chat dari siapa tuh, Mik?”
“Dari Rio.”
“Ngajak ketemuan yah?”
“Iya. Tapi udah kubilang selesai nemenin kamu aja ketemunya.”
“Ini udah selesai kok. Bilang aja ke Rio, kita ketemuan di Bakso Boedjang, biar sekalian makan siang bareng.”
“Oke, Moz. Terserah kamulah, aku ngikut aja.”

***************

Cepat juga perkembangan disini, dua tahun ‘gak pulang udah cukup banyak tempat nongkrong yang dibangun. Sampai bingung aku liatnya.

“Lha, si Rio udah duduk aja tuh di dalam. Cepat amat sampainya.”

“Kan toko milik dia dekat dari sini, Moz. Kamu lupa?”

Dari sudut mata bisa kulihat Mozza hanya mesam-mesem, tanda amnesianya memang lagi kumat.

Ternyata tempatnya lumayan juga. Antara non-smoking room sama smoking room dipisah, bahkan ada private room-nya juga. Makanannya pun dipilih langsung dari counter, jadi betul-betul fresh from the oven. Obrolan diantara kami mengalir lancar, ditemani musik tempo dulu yang hitz di zamannya.

“Mik, pulang nanti mampir ke rumahku dulu yah. Mama sama papa katanya kangen sama kamu.”
“Iya, tapi baliknya kamu anterin lagi lah.. Kan ceritanya aku diculik sama kamu.”
“Rio aja yang anterin kamu pulang, toh kalian berdua udah lama juga ‘gak ketemu.”
“Oke, nanti kujemput Mikha di rumahmu, Moz.”

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) Toxic Relationship Part 1

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarkan obrolan mereka. Ini yang nyulik siapa, tapi yang nganterin pulang siapa.

Kubiarkan mereka berdua ngobrol sesuka hati mereka. Aku cukup jadi pendengar aja, meski sesekali harus menjawab setiap pertanyaan yang mereka ajukan.

***************

Tak terasa seminggu sudah aku di Manado, nemenin Mozza mondar-mandir demi penelitiannya. Tapi ternyata waktu 1 minggu tidak cukup bagi Mozza untuk menyelesaikan semuanya, padahal sudah waktunya bagiku untuk balik ke Makassar, berkutat dengan penelitianku sendiri.

Suka tidak suka, aku harus menitipkan Mozza ke Rio, karena hanya dia yang bisa kupercaya untuk menemani Mozza disini.

“Rio, aku titip Mozza yah.. Kan kamu juga banyak kenalan tuh di RSU, jadi pasti bisa lebih mudah buat Mozza ngumpulin data kalo bareng kamu perginya. Aku ‘gak bisa lama-lama disini. Udah 1 minggu penelitianku terbengkalai tuh.”

“Iya, kamu tenang aja, Mik, aku pasti bakal bantuin Mozza kok. Kamu ‘gak usah khawatir.”

“Iya, Mik, kamu ‘gak usah khawatir gitu napa. Aku bukan anak kecil lagi kok, sampai harus dititipin segala. Kayak barang aja.”

“’Gak ada yang bilang kamu anak kecil, neng, apalagi disamain kayak barang. Tapi karena kamu itu anak satu-satunya, jadi orang tuamu sering minta aku untuk ikut jagain kamu.”

“Iya..iya... Sana berangkat kamu, udah dipanggil tuh sama petugas bandaranya.”

Kutinggalkan mereka berdua yang masih setia berdiri di pintu masuk ruang keberangkatan.

Bismillah….Semoga Mozza ‘gak bakal kenapa-kenapa setelah kutinggal. Meski sebenarnya aku khawatir, tapi aku yakin Rio bisa jagain Mozza disini.

***************

Beberapa minggu berlalu, tiada hari tanpa kucek keadaan Mozza selama disana. Sesekali bahkan dia yang menghubungiku lebih dulu, sekedar untuk memberitahu jika dia lagi ditemenin Rio belanja, atau keliling RSU.

Apapun cerita yang disampaikan Mozza tentang kegiatan mereka, pikiranku tetap positif, karena aku tau Mozza baik-baik aja & sakitnya ‘gak kumat lagi. Sampai pada suatu ketika…..

(“Assalamu’alaikum dek… Gimana kabarmu? Sekarang lagi di Makassar apa Manado?”)

Chat WA masuk dari kakak sepupu Rio. Tumben. Ada apa yah?

(“Wa’alaikumsalam.. Alhamdulillah kabar baik, mbak. Aku masih di Makassar, lagi penelitian. Ada yang bisa dibantu, mbak?)

(“Oalah, mbak pikir lagi di Manado. Ada yang mbak mau omongin sebenarnya. Hmm… Gimana yah mbak ngomongnya nih.)

(“Sampaikan aja disini, mbak. Mumpung aku lagi rehat makan siang”)

(“Gini, dek.. Mbak mau tanya, itu Mozza sama Rio ada hubungan apa, yah? Kok mbak liat dia sering banget yah nongkrong di tokonya Rio, malah sampai ikut ngelayanin customer.)

Degg…

Detak jantungku meningkat, rasa gelisah mulai melanda.

(“Oh ya? Kapan tuh mbak liat mereka?”)

(“Sekitar 2 minggu terakhir ini. Malah kadang subuh-subuh si Mozza udah ada aja di depan Ruko, padahal belum waktunya untuk buka toko.”)

Degup jantungku makin ‘gak karuan. Nikmatnya makanan yang melewati tenggorokan sudah tidak lagi terasa.

(“Mbak yakin ‘gak salah liat? Mungkin aja si Mozza Cuma lagi ada perlu aja sama Rio.”)

(“Mana mungkin salah, dek. Yang punya mobil dengan plat nomor M 02 ZA itu kan cuma teman kamu aja, si Mozza.)

Selera makanku langsung hilang, demi membaca chat terakhir dari Mbak Dwi. HP yang kupegang jatuh ke lantai kantin yang kotor, tak sempat kubalas lagi chat dari Mbak Dwi.

Teman seangkatan yang sedang bersamaku menyadari perubahan itu. Mereka pun mengguncangkan lenganku agar aku tersadar.

“Ohh, maaf yah.. Aku tinggal sebentar.”

Tanpa mendengar jawaban dari mereka, aku memungut HP yang terjatuh tadi & berlari sekencang-kencangnya ke Mushollah.

Sambil berusaha menepis bulir-bulir airmata yang mulai menetes di pipi, aku berusaha menghubungi Rio. Tapi sayangnya, teleponku tidak dijawab. Dengan tangan gemetar, aku berusaha merangkai kata lewat chat yang kukirimkan untuk Rio.

(“Bisa tolong kamu jelaskan, apa yang kamu & Mozza lakukan dibelakangku? Karena aku baru saja mendapatkan info dari orang terdekatmu bahwa Mozza sering menghabiskan waktu sehari-semalam di tokomu. Bahkan subuh-subuh dia udah nangkring aja di depan ruko milik kamu, meskipun belum waktunya untuk buka toko.”)

Satu jam pertama berlalu…

Dua jam berikutnya masih hening…

Kutunggu, namun belum juga ada balasan.

Aku memutuskan untuk menenangkan diri sejenak, sambil menunggu jawaban Rio. Baru setelah 4 jam berlalu, WA-ku berdenting.

(“Mikha, tolong maafin aku. ‘Gak ada maksudku untuk menyakiti kamu. Tapi entah mengapa, beberapa minggu yang kuhabiskan bersama Mozza membawa kenyamanan tersendiri. Aku bahkan menemani dia kemarin, saat sakitnya kumat. Itupun sudah atas izin orang tuanya saat aku masuk ke kamar dia. Tolong kamu jangan menghujat Mozza, karena ini bukan salah dia. Disini aku yang salah. Sekali lagi maaf, bukan bermaksud untuk mempermainkan perasaan kamu ataupun Mozza, tapi inilah isi hatiku yang sebenarnya.”)

Dadaku nyeri ketika membaca chat dari Rio. Air mata makin deras membasahi pipiku. Ternyata selama ini aku salah karena terlalu memberikan kepercayaan penuh kepada mereka.

(“Saat ini aku tidak tau lagi harus berkata apa, karena aku benar-benar tidak menyangka bahwa kalian bisa begitu tega mengkhianati kepercayaan yang kuberikan. Maaf, untuk sekarang aku belum bisa memaafkan kalian, karena hati ini terlalu sakit untuk menerimanya. Pesanku hanya 1 buatmu, Rio, tolong jangan sakiti Mozza seperti yang kamu lakukan sekarang kepadaku. Karena pribadi Mozza, tidak sekuat aku untuk menghadapi masalah seperti ini.”)

Setelah mengutarakan apa yang ingin kusampaikan, aku otomatis memblokir kontak Rio dari HP. Tapi masih ada 1 hal lagi yang harus kulakukan sebelum menutup lembar cerita ini….

(“Makasih yah, Moz, atas “HADIAH” yang kamu berikan diakhir study-ku ini. Saat aku membutuhkan dukungan kalian sebagai pacar & sahabat, ternyata malah ini yang kuterima. Kamu tega menikamku dari belakang. Harus kamu ingat, Moz, kebahagiaan yang didirikan diatas penderitaan orang lain, itu pasti tidak akan berlangsung lama. Sekarang mungkin kamu bisa senang, tapi nanti KARMA akan datang menghampirimu. Terima kasih untuk persahabatan yang sudah kita jalin sejak SMA ini. Maaf, tapi sekarang buatku, sahabat yang bernama MOZZA ALMASSYIFA itu SUDAH MATI.”)

Aku sadar, chat terakhirku untuk Mozza ini mungkin cukup menyakitkan & terkesan sadis, tapi apa mau dikata, hatiku sudah terlanjur sakit. Meskipun begitu, aku harus tetap tegar, karena masa depanku masih panjang.

***************

PROLOG
3 tahun kemudian…..

“Mikha, kesini-lah, melamun aja kamu. Kita mau foto bareng nih.. Kamu kan pengiring pengantin utama disini.”, sebuah suara yang begitu akrab sepanjang usia remajaku memanggil, membuyarkan semua lamunanku.

“Iya, Moz, ya ampun… Kamu tuh, udah menikah tapi masih pecicilan aja kayak anak kecil. Kapok aku tuh bantuin semua persiapan pernikahan kamu.”

“Astaga, Mik, kamu kok perhitungan amat sama sahabat sendiri. Tenang aja napa. Entar giliran kamu yang nikah, gantian aku sama suamiku yang bantu persiapannya. Mama-papaku juga mau ikut bantu kok.”

“Iya Mikha, tenang aja. Om sama tante pasti akan ikut bantuin juga, karena kamu udah sering kami bikin repot selama 1 minggu ini.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar obrolan mereka. Well, setelah 3 bulan pacaran, Mozza & Rio ternyata putus, karena Rio dijodohkan dengan orang lain.

Meski tau akan sulit bagiku untuk memaafkannya, setelah putus itu Mozza berusaha mencariku. Karena dimatanya, aku adalah sahabat terbaik yang takkan tergantikan.

Memang dasar si Mozza, dengan sifatnya yang pantang menyerah itu, aku akhirnya luluh juga. ‘Gak tega aku liatin dia nongkrong seharian di depan rumah cuma supaya bisa ketemu sama aku. Belum lagi teror chat yang dia kirim menggunakan nomor HP papanya.

Dan di sinilah aku, duduk di samping Mozza dalam sesi pemotretan after wedding ceremony bersama orang tuanya, para pengiring pengantin lain & Bang Fachrid, suami Mozza.***

Editor: Sutrisno Tola


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x