Cerpen: Mimpi yang Terasa Nyata

- 19 Juni 2022, 04:25 WIB
Cerpen: Mimpi yang Terasa Nyata.
Cerpen: Mimpi yang Terasa Nyata. /Pixabay/enjoy_berlin

TERAS GORONTALO – Tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai kembali kebiasaan membaca.

Tidak ada yang salah jika kita masih memiliki hobi membaca segala jenis cerita baik itu Cerpen, novel, dongeng, komik, dan sejenisnya.

Ingat kata pepatah, kan? “Kuasailah semua buku, tapi jangan biarkan buku menguasaimu. Membacalah untuk hidup, bukan hidup untuk membaca,” – Owen Meredith.

Dalam kesempatan kali ini, TerasGorontalo kembali hadir membawakan sebuah Cerpen yang berbeda.

Cerpen berikut ini terinspirasi dari pengalaman penulis, saat melakukan Ziarah Sastra bersama tim dari Sangihe Writers and Readers Festival (SWRF), pada Oktober 2021 silam.

Baca Juga: Cerpen: Sahabat untuk Selamanya

Mimpi yang Terasa Nyata

"Hei kamu, kenapa berdiri disitu? Ayo cepat jalan," ujar sesosok wajah asing kepadaku.

Aku yang masih kebingungan menatap sekeliling, sembari bertanya-tanya dalam hati. Tempat apakah ini? Sejak kapan aku ada di sini? Bukankah tadi aku sedang asyik menikmati secangkir teh di rumah?

"Pelan amat jalannya. Buruan, kita di sini bukan cuma nungguin kamu aja," lagi-lagi sosok itu berbicara.

Bahasa yang digunakannya pun terasa asing di telingaku. Sebenarnya aku mau dibawa ke mana? Dan siapa mereka ini?

Seketika kepalaku berdenyut akibat rasa sakit yang tak terkira.

Baca Juga: Cerpen - Rindu Langit

"Ini peringatan pertama, kalau kamu masih belum masuk juga ke dalam, maka peluru dalam senapan ini akan langsung menembus ke jantungmu."

Rupanya tadi kepalaku dipukul menggunakan senapan. Darahku tersirap demi mendengar perkataan orang asing itu. Ya, meskipun bahasa yang digunakannya terasa asing, namun ada beberapa suku kata di dalamnya yang bisa kupahami.

Sambil perlahan melangkah mengikuti arah yang ditunjuk oleh pemuda asing itu, mataku mencoba menyesuaikan dengan penerangan dalam ruangan.

Aku baru tersadar ternyata pencahayaan di dalam ruangan ini begitu minim. Beberapa kali aku tersandung batu bahkan sempat terperosok ke dalam kubangan. Tak berani aku bayangkan apa isi dalam kubangan itu.

"Hei kamu, ayo masuk. Diam di sini sampai tiba saatnya untuk menghukum kamu. Kesalahan yang kamu buat sangat fatal."

Baca Juga: Cerpen Inspiratif Berjudul The Little Hero, Kisah Seorang Anak Kecil yang Mampu Mengamalkan Tolong-menolong

"Apa yang kamu katakan?" terbata-bata aku mencoba bertanya.

"Hah? Kamu bicara apa? Bahasa apa yang kamu pergunakan?" ujar pemuda asing itu lagi, kebingungan.

Rasa bingung semakin menjalari diriku. Ribuan pertanyaan membanjiri otak. Sebenarnya aku ada di mana? Dan siapa pemuda asing di hadapanku ini? Mengapa dia sama sekali tidak bisa memahami perkataanku?

Karena tidak ingin membuat amarah si pemuda semakin membara, aku pun mengikuti perintahnya. Dan apa yang terpampang di depan sontak membuatku kaget. Pintu jeruji? Lho, ini penjara? Kenapa aku bisa ada di sini? Apa kesalahan yang sudah aku perbuat?

Meski dengan langkah berat dan pikiran penuh tanya, aku tetap memasuki ruangan itu.

Baca Juga: Cerpen: Kisah Mesin Tik Tua yang Jatuh Cinta Kepada Pemiliknya

Ya, ruangan kecil nan suram dan hanya diberi penerangan lampu minyak yang ternyata adalah penjara bawah tanah. Pantas saja sepanjang perjalanan tadi aku banyak tersandung. Ternyata aku sedang berjalan di ruangan bawah tanah.

Tapi, bukannya ruangan seperti ini sudah tidak ada lagi? Lantas mengapa aku bisa ada di sini? Apa sebabnya aku bisa berada di sini?

"Hei, nak. Sebaiknya kamu banyak berdoa. Paling cepat hukumanmu akan dijatuhkan dalam waktu 1 minggu. Tapi jika beruntung, mungkin 1 bulan lagi baru akan dieksekusi." jelas seorang bapak paruh baya yang berada dalam sel di depanku. Akhirnya, ada juga yang bisa berbicara dengan bahasaku.

"Anda ternyata bisa berbicara menggunakan bahasaku." ujarku dengan nada gembira.

"Tentu saja, aku dulu punya seorang sahabat yang menguasai berbagai macam bahasa. Dialah yang mengajariku beberapa bahasa, termasuk bahasa yang kamu gunakan tadi."

Baca Juga: Cerpen: Hana si Teratai di Tengah Lumpur

"Maaf kalau boleh tau, nama bapak siapa dan kenapa bapak bisa berada di sini?"

"Namaku Christiaan Nomor Pontoh. Alasanku berada di sini sama seperti yang lainnya. Akibat tuduhan palsu yang dibuat-buat oleh Kekaisaran Jepang, maka kami yang memiliki pengaruh atau jabatan, sengaja dijatuhi hukuman."

"Tempat apa sebenarnya ini? Dan apa maksud ucapan Anda dengan hukuman tadi, pak?" tanyaku.

"Ini adalah penjara bawah tanah milik Kekaisaran Jepang. Sudah banyak orang-orang penting yang mati di sini. Dan maksud dari kata hukuman tadi itu ya hukum pancung. Kamu pernah dengar, kan?" jelas si bapak.

"Apa? Hukum pancung? Apa aku tidak salah dengar? Di era secanggih ini masih ada juga yang memberikan hukuman itu?" kataku setengah berteriak.

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) Toxic Relationship Part 1

"Era canggih katamu? Penerangan dalam ruangan ini saja masih menggunakan lampu minyak. Di bagian mananya yang canggih?" ujar si bapak tanpa dapat menyembunyikan keheranan di wajahnya.

Sedikit pernyataan dari bapak tadi seketika membuatku kembali mengamati seisi ruang penjara. Benar juga, kondisi dalam ruangan ini sungguh sangat jauh dari kata canggih.

Tempat tidur tahanannya saja hanya beralaskan tanah. Apalagi dinding temboknya, sungguh amat mengenaskan. Bahkan seingatku, penjara yang pernah terlihat dalam tayangan streaming saja masih jauh lebih bagus dari ini.

"Apa sebabnya sampai mereka harus sengaja mencari alasan untuk mengeksekusi setiap pemimpin di sini?"

"Tujuan mereka hanya satu, ingin menyingkirkan setiap orang yang berusaha untuk memerdekakan negeri ini. Orang-orang yang berjuang untuk kemajuan tanah kelahiran mereka. Karena mereka ingin memonopoli semua yang ada di sini."

"Sebentar, sepertinya ada yang aneh di sini. Maaf pak, kalau boleh tau, sekarang tahun berapa ya?"

"Nak, kamu tidak amnesia kan? Sekarang ini tahun 1945. Memangnya kamu sudah tidak sabar menunggu pergantian tahun?" ujar bapak itu dengan nada sedikit mengejek.

"1945??? Tidak... Ini tidak mungkin. Bapak salah ingat kali. Tidak mungkin ini tahun 1945."

"Terus aku harus membuktikan dengan cara apa biar kamu percaya?" kali ini si bapak menatapku dengan heran. Seolah-olah aku ini adalah makhluk asing dari negeri antah berantah.

Benar juga. Aku baru menyadari sekarang bahwa bahasa asing yang kudengar dari pemuda tadi adalah bahasa Jepang. Pantas saja ada beberapa kata yang kupahami, karena aku termasuk seorang ottaku.

"Oke, bapak cukup jawab saja pertanyaaku. Biar aku yang memutuskan untuk percaya atau tidak. Pertanyaan pertama, kita sekarang berada di daerah mana?"

"Baiklah, aku ikuti saja apa maumu. Kita ada di Sangihe."

Sangihe? Lelucon macam apa ini? Kurang lebih 2 jam sebelumnya aku masih duduk santai di rumahku, di Lombok, kenapa bisa tiba-tiba ada di sini?

Keringat dingin mulai membasahi kepala. Kupaksakan otak ini untuk berpikir, mencari tau kira-kira apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Pertanyaan kedua, sudah berapa banyak orang yang dieksekusi di sini dan siapa saja mereka?"

"Nak, berapa banyak jumlah yang sudah mereka bunuh itu tidak bisa kuingat. Apalagi semua nama mereka. Yang aku tau, rata-rata mereka semua adalah Raja yang memimpin di daerah ini, bahkan tokoh politik serta tenaga medis pun juga ikut menjadi korban. Tidak hanya pribumi, para pendatang asing yang dianggap pemberontak pun ikut menjadi korban."

Bulu kudukku mulai meremang, membayangkan segala macam bentuk penyiksaan yang mungkin sudah dilalui setiap tahanan di sini.

"Memangnya sudah berapa lama hal ini terjadi?" cecarku, berusaha menggali lebih dalam.

"Aku tidak ingat tepatnya kapan, tapi rasanya sudah terjadi kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu."

Dua tahun? Itu tandanya sudah banyak orang yang dieksekusi mereka. Sudah banyak roh-roh penasaran yang bergentayangan tak tentu arah di sini.

Tidak ... tidak ... tidak.

Batinku berkecamuk. Otakku buntu. Akal sehatku masih tidak bisa menerima fakta yang barusan kudengar dari mulut bapak itu. Kugelengkan kepalaku sekuat-kuatnya, berharap semoga ini cuma khayalan belaka.

Tidak mungkin aku bisa terdampar ke tahun 1945 ini tanpa aku sadari. Memangnya sejak kapan ada perjalanan waktu ke masa lalu?

"Nak, sebaiknya kamu tidur. Simpan tenagamu untuk hari esok."

Belum sempat aku menjawab, terdengar suara langkah kaki si bapak yang menjauh dari pintu penjara. Sepertinya dia memang sudah ingin menyudahi pembicaraan kami.

Bagaimana ini? Padahal masih banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Apa aku tidur saja dan berdoa semoga semua ini hanya mimpi? Ataukah aku harus mencari cara untuk bisa keluar dari sini?

***************

"Hei, pemalas, bangun!" teriak sebuah suara di dekatku. Aku yang masih lelah mencoba mengabaikan suara itu dan meneruskan tidurku.

"Wah, ucapanku diabaikan. Bangun!", kali ini suara orang itu terdengar melengking tajam, diikuti dengan ayunan cambuk yang berhasil mendarat mulus di badanku.

"Maaf, aku lelah sekali. Aku mohon jangan cambuk aku lagi."

"Kamu ngomong apa sih? Aku tidak paham. Ayo sini jalan."

Lagi-lagi bahasa asing ini yang terdengar. Sepertinya yang aku alami ini bukan mimpi, tapi kenyataan. Dengan langkah gontai dan tertatih aku berjalan mengikuti orang itu.

Apalagi yang akan aku hadapi kali ini, Tuhan? Kondisi penjara yang gelap membuatku sulit untuk membedakan apakah hari sudah pagi atau masih malam.

Setibanya di ruangan besar menyerupai aula, terdengar suara yang menggelegar berbicara.

"Saudara terdakwa, apakah Anda sudah menyadari kesalahan yang Anda lakukan? Apakah Anda tau bahwa pemberontakan itu tidak dibenarkan?" tanpa basa-basi aku ternyata dibawa ke dalam sebuah ruangan yang berisikan 3 orang Jepang dengan muka dingin, tak terlihat emosi sedikit pun.

Pandangan mata mereka begitu tajam menusuk, seolah-olah ingin membunuhku hanya lewat tatapan. Apa yang dia ucapkan, Tuhan? Tolong bantu hamba untuk membuat dia mengerti.

"Maaf, tapi aku tidak tahu pemberontakan apa yang Anda tuduhkan. Aku sendiri tidak paham kenapa tiba-tiba bisa berada di sini." jelasku terbata-bata, berusaha menyampaikan kata demi kata secara perlahan, berharap mereka dapat memahami ucapanku.

"Sudah, tidak perlu banyak alasan. Sekali pemberontak, maka selamanya akan jadi pemberontak. Apapun yang kamu sampaikan, tidak akan mengubah keputusan kami. Hari ini kamu akan dieksekusi." jawab sesosok pria Jepang gendut dan pendek, yang ternyata bisa sedikit memahami apa yang aku sampaikan.

"Aku mohon, jangan eksekusi aku. Aku sendiri tidak memahami pemberontakan seperti apa yang dituduhkan. Harusnya Anda melakukan penelusuran kebenaran terlebih dulu sebelum memutuskan untuk mengeksekusi setiap tahanan di sini." emosiku mulai membuncah, membayangkan setiap korban yang berjatuhan akibat tuduhan pembangkangan dan pemberontakan yang sepertinya hanya dibuat-buat, demi untuk melenyapkan mereka yang berjuang demi memerdekakan daerah ini.

Sifat Kekaisaran Jepang yang otoriter dan tidak mau mendengarkan alasan apapun, menjadikan mereka seenaknya melakukan eksekusi seperti ini, demi untuk menciptakan terror. Karena mereka menganggap dengan adanya terror, maka akan semakin sedikit orang-orang yang ingin berjuang demi kemerdekaan mereka.

"Anda salah jika beranggapan dengan adanya eksekusi ini, maka tidak akan ada lagi yang bangkit untuk berjuang. Anda boleh saja menciptakan teror, tapi semangat juang yang sudah tertoreh di bumi Sangihe ini, tidak akan padam sampai kapan pun," jelasku berapi-api, berharap mereka menyadari kesalahan yang sudah dilakukan.

Mimpi ataupun kenyataan, rasanya aku berhak untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku ini. Berharap mereka setidaknya masih memiliki sedikit rasa kemanusiaan untuk menghentikan eksekusi ini.
"Diam! Kamu tidak berhak untuk melakukan pembelaan lagi di sini. Hukumanmu sudah dijatuhkan. Bersiaplah untuk itu."

Ucapan yang dingin dan sarat akan ancaman itu terasa menghujam hatiku. Meski sudah tahu apa yang akan aku hadapi, tapi membayangkan bahwa akhirnya sudah dekat tentu saja membuat hatiku tergetar.

Dua pasang tangan yang dingin menyeretku, membawaku ke sebuah ruangan lain yang sarat akan bau amis dan tidak menyenangkan.

Terbayang sudah kengerian dari tempat ini. Pikiranku dipenuhi dengan teriakan-teriakan dari para korban yang meminta keadilan.

Mereka yang sudah berusaha berjuang demi tanah kelahirannya. Mereka yang dihadapkan pada kekuasaan yang otoriter dan semena-mena, hingga merasa berhak untuk memberikan hukuman pancung bagi siapapun yang tidak disukai.

Tak pernah terpikirkan olehku, bahwa akupun akan ikut menjadi bagian dari kengerian ini.

***************

Setelah berjalan selama kurang lebih 200 meter, tibalah kami di sebuah tempat terbuka, layaknya stadion olahraga. Bedanya di sini, di tengah lapangan terdapat guillotine, alat pancung yang sudah banyak digunakan untuk membunuh.

Terlihat jelas sisa-sisa noda darah yang tidak dibersihkan. Apakah ini akhir dari perjalananku? Aku sendiri masih tidak tahu kenapa bisa terdampar di sini. Tapi jika memang ini akhirnya, maka aku ikhlas untuk menerimanya.

"Apa ada kata-kata terakhir yang ingin kamu ucapkan?" tanya seorang pria bertubuh tinggi besar dengan mata sipit. Mukanya terlihat sangat menyeramkan.

"Izinkan aku berdoa sebentar," ucapku seraya sedikit menggunakan bahasa isyarat, berharap dia dapat memahami ucapanku. Anggukan kepalanya membuatku yakin bahwa dia mengerti.

"Bersiaplah untuk eksekusinya," pria itu kembali berbicara. Mataku terbelalak demi mendengar ucapannya.

"Tunggu sebentaaaaaarrr …."

***************

"Gin.. Gina... Bangun. Lu kenapa teriak-teriak gitu? Mimpi?" sebuah suara yang terasa cukup akrab mengguncang bahuku.

"Windy, lu kok bisa ada di sini. Si algojo Jepang tadi kemana?" tanyaku celingukan, mencari sosok raksasa tadi.

"Algojo Jepang? Wah, lu ngigau ya? Mana ada orang kayak gitu di sini." jelasnya sambil tertawa melihatku yang kebingungan.

Jadi semua yang kualami barusan hanya mimpi? Apa ini bawaan karena sebelumnya aku mempelajari tentang situs bersejarah, ya?

***

Editor: Sutrisno Tola


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x