Cerita Bersambung (Cerbung) - Mentari Sendu Eps 3

- 29 Juni 2022, 22:48 WIB
Cerita Bersambung (Cerbung) - Mentari Sendu Eps 3
Cerita Bersambung (Cerbung) - Mentari Sendu Eps 3 /Pixabay

TERAS GORONTALO – Hai pembaca setia TG, penulis kembali lagi mengisi kanal cerpen untuk melanjutkan cerita "Mentari Sendu".

Masih dengan Cerbung (cerita bersambung) yang terbaru, penulis membawakan warna baru dari kisah seorang gadis bernama Trisha.

Mungkin ada beberapa pembaca di sini yang pernah mengalami yang namanya harus menuruti kemauan orang tua, tidak terkecuali urusan kuliah.

Akan tetapi, tidak sedikit juga yang berusaha membuktikan bahwa mereka pasti bisa mewujudkan impiannya, meski tanpa restu penuh dari orang tua.

Lantas bagaimana dengan Trisha, gadis yang memilih menjadi dokter hewan, alih-alih pengusaha seperti ayahnya?

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) - Mentari Sendu Eps. 2

Simak kelanjutan perjalanan hidup Trisha yang penuh dengan lika-liku di sini.

Happy reading...

MENTARI SENDU EPISODE 3: KEUSILAN YANG MEMBAHAGIAKAN

“Trisha, kamu udah siap belum? Keburu siang niy.”

“Iya, bentar paman. Lagi periksa bawaan Trisha, biar gak ada yang ketinggalan.”

“Ya udah, paman tunggu di mobil yah. Jangan lama, nanti bisa kena macet kita.”

Tanpa perlu menunggu panggilan berikutnya, aku langsung menuruni tangga yang mengarah ke basement tempat mobil paman Sammy diparkirkan.

Ya, hari ini kami berencana untuk mengujungi Bunda di kota seberang.

Baca Juga: Cerbung (Cerita Bersambung) - Mentari Sendu Eps. 1

Sesuai permintaanku, paman Sammy sengaja tidak memberitahukan Bunda jika aku ikut dalam perjalanan ini.

Bahkan status di sosial media sengaja aku sembunyikan dari kedua adik kembarku yang kepo itu.

Letak kota tempat kelahiranku memang tidak cukup jauh dari rumah paman Sammy. Hanya dibutuhkan waktu 4 jam untuk sampai, itupun jika tidak macet di perjalanan.

Sepanjang perjalan jantungku berdebar tak karuan. Bagaimana tidak, dua tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan rumah itu.

Menurut pengamatan paman Sammy, sudah banyak yang berubah disana.

Tapi aku tidak yakin jika Ayah juga ikut berubah. Karena sampai detik ini saja, beliau tidak pernah berusaha untuk mencari tahu keadaan putrinya.

Baca Juga: Cerpen: Mimpi yang Terasa Nyata

“Diam aja dari tadi, Trish. Kenapa? Khawatir bakal ketemu Ayahmu?”

“Iya paman. Trisha gak yakin Ayah udah berubah, meskipun itu paman sendiri yang cerita.”

“Paman gak bilang secara langsung yah kalo Ayahmu udah berubah. Paman cuma bilang kalo keadaan di rumahmu udah banyak berubah. Seperti apa perubahan itu, nanti kamu lihat dan nilai sendiri.”

“Iya paman. Terima kasih udah mendukung Trisha selama ini.”

Senyap kembali. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi mungkin hanya aku saja yang merasa khawatir disini.

Khawatir jika aku justru diusir lagi sebelum menginjakkan kaki ke dalam rumah. Khawatir jika kedatanganku tidak diterima oleh mereka, terutama Ayah. Khawatir jika ternyata mereka sudah melupakan keberadaanku.

“Trish, kita udah sampai. Ayo turun, temui Bunda kamu.”

Baca Juga: Cerpen: Sahabat untuk Selamanya

Rasanya berat melangkahkan kaki kembali ke rumah ini. Rumah yang dulu pernah menjadi tempat berlindungku. Tapi sekarang justru rumah inilah yang menjadi alasan bagiku untuk pergi.

“Trisha... Ini beneran kamu, nak?” sebuah suara yang teramat sangat kurindukan terdengar.

“Iya Bunda, ini Trisha.” jawabku. Kaget ketika sepasang tangan yang hangat memelukku erat.

“Kenapa kamu gak ngabarin Bunda kalo mau datang? Bunda kan bisa siapin masakan kesukaanmu.”

“Iya maaf, Bunda. Sengaja Trisha gak ngabarin karena mau ngasih kejutan. Lagipula Trisha gak yakin kalo Ayah bisa menerima kedatangan Trisha disini, setelah semua yang terjadi.”

“Well, Ayahmu lagi keluar kota. Mungkin minggu depan baru kembali. Jadi kamu gak usah khawatir akan hal itu.”

Aku hanya bisa ber-ooh ria saat mendengar penjelasan Bunda.

Pandanganku beralih menatap paman Sammy yang sekarang hanya bersiul sambil menahan senyum.

Well, ternyata paman tahu dan sengaja merahasiakannya dariku.

“Si kembar kemana Bunda? Trisha gak lihat mereka. Tumben amat pada gak berisik.”

“Mereka masih sibuk ekskul, nak. Lagi persiapan buat pementasan drama. Mungkin malam baru pulang. Kamu istirahat aja dulu, nanti Bunda bangunin kalo udah waktunya makan.”

“Iya Bunda.”

Kamar yang kutempati dulu ternyata masih sama. Tidak ada yang berubah.

Warna kamar ini pun masih tetap sama. Biru langit, warna favoritku. Bahkan seluruh ruangan tetap terlihat bersih, tanpa debu. Seprainya pun terlihat baru diganti.

Mungkin Bunda selalu berharap aku pulang, atau sekedar datang berkunjung saat liburan tiba.

Tak terasa kantuk mulai datang menyerang tubuh lelahku yang kini terbaring di atas kasur. Mataku pun terpejam dalam hitungan sepersekian detik.

****************

Dingin menerpa tubuhku. Sepertinya aku tertidur cukup lama, hingga lupa untuk menutup jendela kamar. Bahkan keadaan dalam kamarku pun gelap gulita.

Kuraih handphone yang tadi tergeletak di meja samping tempat tidur. Berusaha mencari tahu jam berapa sekarang. Masih pukul 8 malam rupanya.

Aku pun memilih untuk duduk di balkon kamar. Menunggu Bunda memanggilku untuk makan malam.

Kuamati ladang bunga Matahari yang dulu menjadi tempat favoritku. Kini terlihat kosong, tandus, tak ada satupun yang tumbuh dan mekar.

Mungkin besok aku bisa sedikit melakukan keahlianku dalam bercocok-tanam.

Lamunanku terhenti saat sekelebat bayangan putih tiba-tiba lewat di jalan setapak menuju ladang.

Kupejamkan kembali mataku, berharap apa yang kulihat tadi hanya ilusi semata.

Aku terkejut, saat kembali menatap jalan setapak itu, sekarang ada 2 bayangan putih yang lewat. Bahkan mereka sepertinya melangkah mendekati tempatku duduk saat ini.

Badanku seketika menjadi kaku, tak dapat bergerak. Untuk berteriak pun bibirku terasa kelu.

Bagaimana ini?

Jika benar itu sesuatu yang kutakutkan, aku harus lari kemana?

Bayangan itu semakin menedekat ke arahku. Samar-sama ada suara lain yang ikut terdengar saat mereka mendekat.

Aku mencoba untuk rileks, berusaha meredam ketakutan itu dam menajamkan indera pendengaranku.

Kali ini suara itu semakin jelas. Bukan suara yang menakutkan atau yang dapat membuat buluk kuduk berdiri. Tepatnya itu suara mesin kendaraan bermotor.

Seketika pikiranku terbuka. Otakku kembali jernih setelah sebelumnya diselubungi kabut phobia.

Mana mungkin pocong bisa datang dengan kendaraan bermotor?

Iya memang sekarang zaman milenial, tapi bukan berarti setan juga ikut jadi milienial kan?

Kali ini giliranku yang berjalan mendekati arah datangnya bayangan putih itu. Lampu senter kuarahkan tepat ke arah datangnya suara dan aku terkejut saat melihatnya.

“Timmy, Tristan? Kalian ngapain malam-malam dengan kostum kayak gini?”

“Yaahh… kak Trisha gak takut ternyata.”

“Gimana mau takut, kalian datang pake motor gitu. Udah pasti gak masuk akal lah. Pocong itu jalannya sambil lompat, bukan pake motor. Ada-ada aja kalian. Terus siapa itu yang bawa motornya?”

“Itu pelatih drama kami, kak, namanya kak Gio. Dia nganterin kami pulang karena udah malam.”

“Ya udah, masuk sana. Mandi, terus ganti baju.”

“Iya, kak.”

Langkah mereka terlihat gontai saat tahu kejutan yang mereka siapkan justru gagal.

Ya, sebenarnya tidak akan gagal jika saja aku tidak mendengarkan bunyi motor itu. Tapi mereka tidak perlu tahu itu.

Saat mereka mendekat, aku tiba-tiba sadar ada kalimat yang mengganjal dari ucapan mereka tadi.

“Timmy, Tristan. Kalian kok bisa siapin kejutan kayak gini? Tau darimana kalo kak Trisha bakal datang?”

“Bukan Ayah aja yang punya mata-mata, kak, tapi kami juga. Jadi jawabannya ra-ha-sia.”

Mereka menjulurkan lidahnya sambil berlalu melewatiku. Meninggalkanku dalam kebingungan.

Jika Bunda saja tidak tahu, terus darimana si kembar bisa mendapatkan info perihal kedatanganku?.***

Editor: Sutrisno Tola


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x