Kasus Pencabulan di Sekolah Berasrama Kian Marak, Apakah Orang Tua Harus Cari Alternatif Lain?

7 Juli 2022, 17:29 WIB
Kasus Pencabulan di Sekolah Berasrama Kian Marak, Apakah Orang Tua Harus Cari Alternatif Lain? /Pixabay / iStock / Laura Benvenuti/

TERAS GORONTALO – Maraknya kasus pencabulan yang terjadi di lingkungan sekolah, khususnya yang memiliki asrama, menjadi pe-er besar bagi setiap orang tua Indonesia.

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi anak-anak mereka, justru malah dijadikan kedok dan lokasi persembunyian bagi para predator seks.

Tidak tanggung-tanggung, korban yang berjatuhan pun berjumlah belasan hingga puluhan siswi, bahkan di antara mereka ada yang sampai hamil dan melahirkan anak dari hasil perbuatan keji sang guru.

Selama setahun terakhir ini, Indonesia telah menghadapi beberapa kasus dugaan pencabulan yang melibatkan siswi dan guru di tempat mereka menempuh pendidikan. 

Baca Juga: Cerbung: Cinta Dua Benua Eps. 5, Kejahilan Adik Perempuan

Berikut Kasus-kasus dugaan pencabulan dilansir dari berbagai sumber:

1. Kasus Pencabulan Santriwati di Bandung

Kasus pencabulan ini melibatkan seorang guru pada sebuah Pondok Pesantren di Bandung, yang memakan korban tidak hanya 12 santriwati, namun mencapai puluhan perempuan.

Dikutip dari Berita Subang, sejak tahun 2016 hingga akhirnya terkuak di bulan Desember 2021, Herry Wirawan mengakui bahwa dirinya telah memperkosa puluhan santri di lembaga sekolah yang dia kelola.

Pengakuan ini dia sampaikan kepada Kepala Rutan Kebon Waru, Bandung, yaitu Riko Stiven. 

Baca Juga: Viral, Motivator Lakukan Aksi Pelecehan, Tissa Biani: Ngeliat Videonya Enggak Kuat Banget

“Ketika saya tanya, Herry mengaku telah memperkosa para santriwatinya. Menurut pengakuannya sebanyak 12 santri dan jumlahnya tertera dan sesuai dengan BAP,” kata Riko.

Tindakan keji Herry Wirawan ini mulai terendus dan muncul ke permukaan setelah salah seorang wali santri datang melapor ke Polda Jawa Barat.

Usai laporan tersebut, sedikit demi sedikit laporan data korban dari Herry Wirawan ini mulai bertambah.

Banyak wali dari para santriwati di pondok pesantren tersebut yang ikut datang untuk melaporkan perbuatan keji sang guru.

Pihak P2TP2A Garut menyebutkan bahwa jumlah korban Herry bertambah hingga menjadi 21 orang.

Bahkan yang lebih kejinya lagi, di antara 21 orang tersebut, total sudah ada sekitar 9 santriwati yang hamil hingga melahirkan bayi yang dikandungnya.

Tidak hanya sampai di situ saja, Herry Wirawan bahkan memaksa para santrinya untuk mengurus dan membesarkan bayi mereka, padahal usianya masih belasan tahun.

Diketahui, dengan dalih akan menanggung semua biaya pendidikan mereka hingga menjadi Polwan, Herry Wirawan melakukan aksi bejatnya tersebut.

Herry Wirawan dituntut hukuman penjara seumur hidup setelah melakukan aksi biadabnya di beberapa lokasi, seperti tempat dia mengajar, apartemen, hingga hotel.

2. Kasus Pencabulan Santriwati di Jombang

Kasus ini melibatkan anak salah seorang Kiai berpengaruh di Jombang, yang menjadi pengasuh dari Pondok Pesantren Shiddqiyyah, K. H. Muhammad Mukhtar Mukhti, yang berinisial MSAT.

Dilansir dari Pikiran Rakyat, kasus yang hingga kemarin, 6 Juli 2022 masih dalam penanganan Polda Jawa Timur ini, belum juga mendapatkan penyelesaian.

Pasalnya, MSAT yang diduga merupakan tersangka utama, justru masih bisa menghirup udara bebas karena pihak polisi belum berhasil untuk menangkapnya.

Penangkapan MSAT mengalami kendala karena dihalangi oleh ayahnya sendiri, yaitu sang Kiai, yang mengatakan bahwa anaknya hanya menjadi korban fitnah.

Kasus dugaan pencabulan ini bermula dari laporan salah seorang santriwati yang diketahui masih di bawah umur, kepada Polres Jombang.

Namun meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, MSAT tidak pernah datang untuk memenuhi panggilan pemeriksaan di Kepolisian.

Upaya penjemputan paksa sempat dilakukan pada Minggu, 3 Juli 2022, siang hari.

Namun sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan, lantaran pihak jemaah pesantren malah menghalang-halangi petugas kepolisian, hingga menyebabkan salah seorang anggota mereka terjatuh.

Hingga berita ini diturunkan, tersangka MSAT masih menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) dan diduga disembunyikan oleh keluarganya di wilayah Pondok Pesantren Shiddqiyyah.

3. Kasus Pencabulan di SMA Selamat Pagi

Indonesia (SPI) Kasus yang sudah sempat disidangkan pada 2021 silam ini, kembali mencuat setelah dua orang korban datang dan menceritakan kisah mereka dalam Podcast CLOSETHEDOOR milik Deddy Corbuzier.

Tindakan keji ini ternyata dilakukan oleh seorang motivator sukses bernama Julianto Eka Putra.

Dilansir dari YouTube Deddy Corbuzier, terungkapnya tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh Julianto Eka Putra ini karena adanya laporan dari beberapa mantan siswi SMA SPI.

Salah seorang korban yang datang ke podcast Deddy Corbuzier bahkan memaparkan bahwa dirinya sudah mengalami pencabulan sebanyak 15 kali sejak duduk di bangku kelas 2 SMA.

Tidak hanya itu saja, rata-rata korban bahkan mengalami kekerasan verbal yang juga dilakukan oleh Julianto Eka Putra.

Dengan dalih memberikan motivasi dan ingin membantu perekonomian keluarga korban, Julianto Eka Putra pun kerap memanggil mereka untuk masuk ke dalam ruangan pribadi miliknya.

Keberadaan para siswi yang tinggal di asrama sekolah rupanya menjadi salah satu penyebab mengapa tindakan keji ini bisa sampai berulang kali terjadi.

Diketahui sampai saat ini, meski telah ditetapkan sebagai tersangka pada 5 Agustus 2021 silam, Julianto Eka Putra tidak ditahan dalam tahanan mana pun, bahkan masih bisa menghirup udara bebas.

Belajar dari ketiga kasus tersebut di atas, masyarakat mungkin perlu untuk mempertimbangkan kembali sebelum menyekolahkan anak mereka ke dalam pesantren atau sekolah berasrama.

Bukan karena kurikulumnya yang membuat para orang tua merasa enggan, namun perilaku yang akan diterima oleh anaknya ini yang menjadi alasan utama.

Orang tua mungkin harus berpikir beribu-ribu kali lipat sebelum membawa anak mereka untuk masuk ke sekolah berasrama.

Karena keselamatan anak akan selalu menjadi alasan utama para orang tua, sebelum mengirim mereka untuk bersekolah.***

Editor: Gian Limbanadi

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler