Mereka juga telah terkena suhu setinggi 1100 ° F (600 ° C), menunjukkan penduduk situs menggunakan api untuk memasak daging.
Lokasi kebakaran purba tidak selalu memiliki bukti yang jelas dan terlihat keberadaannya, seperti arang atau batu yang berubah warna.
Para Ilmuwan telah mengembangkan alat canggih untuk mengetahui bahan apa saja yang terbakar di api unggun raksasa serta mencari tahu usia dari alat batu kuno tersebut.
Dari hasil penelitian para ilmuwan tersebut, diketahui jika panas api yang ekstrem secara mendasar mengubah struktur atom tulang manusia dengan cara yang memengaruhi cara mereka menyerap radiasi IR.
Adapun panjang gelombang cahaya IR yang diserap oleh tulang yang terbakar dan tulang yang tidak terbakar itu, dideteksi menggunakan teknik laboratorium yang disebut spektroskopi Fourier-transform infrared (FTIR).
Filipe Natalio seorang ahli biokimia arkeologi, ingin melihat apakah tanda-tanda pembakaran yang tidak terlihat ini juga ada pada peralatan batu kuno.
Penemuan api unggun raksasa ini merupakan tanda yang jelas adanya kehidupan manusia.
Awalnya Natalio dan tim menganalisis panjang gelombang IR yang diserap oleh potongan batu dari api unggun raksasa tersebut, masing-masing batu dipanaskan dengan suhu api yang berbeda.
Selain itu, mereka juga menggunakan spektroskopi UV Raman, yang mengukur penyerapan sinar UV, untuk mencari indikasi tambahan pembakaran.
Akan tetapi karena variasi yang terjadi secara alami dalam struktur molekul batu api, data yang mereka peroleh terlalu rumit untuk ditafsirkan sendiri.