Keterangan Berbelit Bikin Pembuktian Kasus Pembunuhan Brigadir J Rumit, Sambo Bisa Bebas? Ini Penjelasannya

8 Desember 2022, 09:51 WIB
Keterangan Berbelit Bikin Pembuktian Kasus Pembunuhan Brigadir J Rumit, Sambo Bisa Bebas? Ini Penjelasannya / Kolase foto Pikiran Rakyat dan Tangkapan layar YouTube Elang Maut Channel / Edit by Teras Gorontalo/

 

TERAS GORONTALO – Persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir J semakin seru.

Saat ini, persidangan sudah sampai pada tahap mendengarkan keterangan dari para terdakwa, yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir J.

Sudah menjadi rahasia umum ada 5 orang yang menjadi terdakwa, dalam insiden mengerikan, yang menewaskan Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat.

Kelima orang terdakwa tersebut adalah Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka RR, Kuat Ma’ruf dan Putri Candrawathi.

Satu dari kelima terdakwa ini telah memilih jalan untuk bicara jujur dan apa adanya, sepanjang persidangan berlangsung.

Baca Juga: Ramalan Kartu Tarot Untuk Semua Zodiak Hari Ini 26 Januari 2022: Cinta Ada di Sekitarmu

Sayangnya, 4 orang lainnya tak mampu untuk bersikap serupa, bahkan kerap memberikan keterangan yang berbelit dan terkesan seolah masih terikat pada skenario Ferdy Sambo.

Sebagaimana yang telah kita saksikan bersama, baik Hakim maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) sama sekali tidak mempercayai setiap keterangan yang diberikan 4 orang terdakwa ini.

Tak hanya 4 terdakwa, beberapa saksi yang didatangkan di pengadilan juga turut diragukan pernyataannya.

Seperti contoh keterangan dari saksi Susi, ART Ferdy Sambo dan juga Kodir, yang sama-sama dinilai berbeda dari BAP sebelumnya.

Baik Hakim maupun Jaksa sama-sama terpicu amarahnya, akibat pernyataan terdakwa dan saksi yang dinilai tidak masuk akal atau bohong.

Alhasil, persidangan yang melibatkan Putri Candrawathi, Bripka RR dan Kuat Ma’ruf seolah nampak seperti debat kusir.

Atau dengan kata lain, masing-masing begitu fanatik dengan pendapatnya, dan meyakini bahwa apa yang mereka sampaikan adalah benar adanya.

Dan sampai dengan hari ini, hanya keterangan dari 1 orang saja, yang masih dianggap masuk akal oleh Majelis Hakim dan tim Jaksa.

Yaitu ucapan yang terlontar dari mulut Bharada E, alias Richard Eliezer, yang juga merangkap sebagai saksi terhadap terdakwa lainnya.

Baca Juga: Liga 1 2022-2023: Prediksi PSM Vs Persita, Cek Live Streaming Dan Siaran Langsung

Salah seorang pengamat hukum dari kanal YouTube Elang Maut Channel, Benny Fremmy Surbakti, SH, MH, C.PEM, menjelaskan dalam kasus ini ada 2 pihak yang sudah jelas terbukti kesalahannya.

Keduanya adalah Bharada E dan Ferdy Sambo, yang sama-sama tidak dapat mengelak lagi dari jeratan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Bukti yang menguatkan hal tersebut tentunya adalah ada orang yang mati akibat tertembak.

Selain penemuan mayat, juga ada keterangan dari kedua terdakwa, di mana Bharada E mengakui dirinya telah menembak Brigadir J 1-4 kali.

Lalu ada juga pernyataan yang menyebutkan bahwa Ferdy Sambo telah menyuruh Tamtama tersebut untuk menembak ajudannya sendiri.

Kemudian setelah insiden terjadi, Bharada E mengklaim bahwa dirinya hanya mengikuti skenario tembak-menembak yang telah disusun oleh Ferdy Sambo.

Pria yang akrab disapa Bang Benny ini mengatakan, seandainya Ferdy Sambo tetap menyangkal pernyataan Bharada E, faktanya tidak akan berubah.

Yaitu kebenaran bahwa memang benar ada kejadian seperti itu, di rumah dinas Ferdy Sambo.

Apalagi kasus ini sudah menjadi sorotan publik sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu, dan dari awal pun masyarakat tidak ada yang mempercayai skenario yang dibuat.

Baca Juga: Peringatan Dini BMKG: Cuaca Ekstrem Untuk 26 Wilayah Indonesia Besok Jumat 9 Desember 2022

Terutama ketika digambarkan seolah-olah Bharada E sangat ahli dalam menembak, hingga sanggup melumpuhkan bahkan menewaskan Brigadir J, yang adalah seniornya sendiri.

Menurut Bang Benny, apapun keterangan dari Ferdy Sambo, untuk kedua orang ini sudah terbukti ada pembunuhan berencana.

“(Saya) yakin Ferdy Sambo juga akan mengaku bahwa dia yang mengarahkan Bharada Richard untuk menembak. Jadi clear-lah untuk Ferdy Sambo dan Bharada Richard dalam kasus pembunuhan berencana,” ucap Benny Surbakti.

Akan tetapi, ada hal rumit lain yang perlu untuk diluruskan dalam kasus ini, yaitu terkait terdakwa Putri Candrawathi, Bripka RR dan Om Kuat.

Karena selama persidangan berlangsung, hanya keterangan dari Bharada E sajalah yang memberatkan posisi ketiga terdakwa tersebut.

Sedangkan keterangan dari saksi lain maupun barang bukti yang dapat menguatkan pernyataan Richard Eliezer, masih sangat minim.

Kecuali nanti Ferdy Sambo mau untuk mendukung perkataan Bharada E, bahwa memang benar 3 terdakwa lain terlibat dalam skenario pembunuhan berencana tersebut.

Sayangnya dalam konferensi pers setelah sidang dilangsungkan, eks Kadiv Propam tersebut justru menyangkal segala bentuk keterlibatan dari orang terdekatnya itu.

Dia (Ferdy Sambo) menyebutkan bahwa semua adalah tanggung jawabnya sendiri, dan istrinya, Putri Candrawathi, Bripka RR serta Kuat Ma’ruf tidak tahu apapun.

Lantas mengapa bisa persidangan yang melibatkan 3 orang terdekat Ferdy Sambo itu bisa dinilai mirip dengan debat kusir?

Menurut Bang Benny, dalam asas hukum di Indonesia, ada yang disebut dengan Ultra Petita.

Yaitu Majelis Hakim tidak boleh memutuskan perkara, di luar dari dakwaan atau tuntutan Jaksa.

Jadi, ketika Hakim akan memutuskan hukuman terhadap suatu perkara, harus disesuaikan dengan dakwaan yang telah disusun dan dibaca oleh pihak Jaksa.

Sementara, dakwaan Jaksa dalam kasus ini, dinilai sangat lemah karena penyidikannya tidak sempurna.

Penyebab lemahnya dakwaan adalah karena banyak bukti-bukti pendukung perkara yang hilang.

Ada juga CCTV di dalam TKP yang diduga bisa menjadi 'saksi' kunci kasus ini, tidak pernah ditemukan.

Hal berikutnya yang menjadikan persidangan dari Putri Candrawathi, Bripka RR dan Om Kuat seolah seperti dagelan publik, adalah berdasarkan pada Pasal 143 KUHAP, yang berbunyi :

1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Ini berarti bahwa dakwaan Jaksa harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan.

Apabila surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka harus batal demi hukum.

Jadi, jika ternyata dakwaan Jaksa itu tidak cermat atau kurang jelas, memang sudah seharusnya batal demi hukum.

“Menurut saya, pada saat terdakwa melakukan eksepsi, keberatan atas dakwaan Jaksa, harusnya Hakim itu jangan melanjutkan persidangan dulu. Minta kepada Jaksa untuk memperbaiki dakwaannya. Jangan buru-buru,” jelas Benny Surbakti.

Dia menambahkan sepatutnya publik juga tahu bahwa saat seorang Hakim menjatuhkan vonis atau hukuman, itu juga diatur dalam undang-undang.

Semuanya telah tertuang secara lengkap dalam Pasal 183 KUHAP, yang isinya :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dia menjelaskan bahwa ketika Hakim akan menjatuhkan vonis, wajib untuk didukung oleh minimal 2 alat bukti dan ditambah dengan keyakinannya nanti, setelah melihat fakta-fakta di persidangan.

Nah, menurut Bang Benny, alat bukti ini sebenarnya ada 5 jenis, yaitu :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Bang Benny juga menyebutkan kalau alat bukti yang memiliki nilai paling kecil adalah keterangan terdakwa.

Jika unsur-unsur tersebut di atas dikaitkan dengan persidangan dari terdakwa Putri Candrawathi, Bripka RR dan Om kuat, maka yang dikejar oleh Hakim saat ini adalah pengakuan.

Ini dikarenakan minimnya alat bukti dan keterangan saksi yang dapat mendukung pernyataan Bharada E, terkait 3 orang terdakwa tersebut.

Apalagi seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa alat bukti dengan nilai terendah, justru dimiliki oleh keterangan terdakwa.

Padahal tindakan tersebut sebenarnya sudah berada di luar dari aturan hukum yang berlaku.

“Karena apa? Dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, Hakim itu dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang mengenai keyakinannya, apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jadi tidak boleh dia mengatakan, ‘kau salah, kau begini’, nggak bisa,” beber Benny Surbakti.

Hal tersebut menurut Bang Benny, sudah diatur dalam Pasal 158 KUHAP, yakni :

“Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.”

Selain itu, aturan lain yang mengikat sikap Hakim selama persidangan berlangsung juga diatur dalam Pasal 153 KUHAP Ayat 2 (b)

“Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.”

Jadi sebenarnya setiap terdakwa ataupun saksi itu, tidak boleh diberi tekanan apapun atau memaksakan kehendak, saat mereka tengah memberikan keterangan.

“Kalau itu dilakukan, di Pasal 153 ayat empatnya, itu mengakibatkan batalnya putusan Hakim itu demi hukum. Jadi Hakim tidak boleh menekan-nekan sebenarnya,” tutur Benny Surbakti.

Akan tetapi hal tersebut sudah terlanjur terjadi, akibat kurangnya alat bukti dan keterangan saksi yang berbeda-beda.

Sehingga dalam posisi ini, Hakim memilih untuk mengejar pengakuan dari terdakwa.

Padahal justru tugas seorang Hakim itu adalah mengejar pembuktian, bukan pengakuan semata.

Lebih lanjut lagi, Bang Benny menjelaskan terkait perkataan Hakim yang menuding bahwa beberapa orang terdakwa telah berbohong di pengadilan.

“Terdakwa boleh berbohong, beda dengan saksi. Makanya terdakwa itu tidak disumpah. Kalau saksi-saksi itu disumpah,” kata Benny Surbakti.

Terkait hal ini, Bang Benny pun menyebutkan pendapat salah seorang profesor, bernama M Yahya Harahap.

Diketahui professor M Yahya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung di bidang Kriminalitas.

Di mana dalam suatu kesempatan, sang profesor sempat menjelaskan terkait pemberian keterangan secara bebas oleh terdakwa.

“Kata pak Harahap ini, ‘Dalam pemeriksaan, terdakwa berhak untuk memberikan keterangan dengan bebas’. Itu ditulis dalam bukunya ‘Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP’,” ucap Benny Surbakti.

“Jadi seorang terdakwa berhak untuk membantah dalil-dalil yang diajukan dalam dakwaan, dan memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya,” sambungnya menambahkan.

Menurut Bang Benny, dalam teori hukum pidana asas itu disebut ‘Non Self Incrimination’.

Asas ini memberikan hak kepada terdakwa untuk tidak memberikan keterangan yang dapat memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan.

Dan ternyata, hak tersebut juga telah diatur dalam Pasal 175 KUHAP, yang menyatakan :

“Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan kepadanya, Hakim Ketua Sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.”

Ini artinya setiap terdakwa memiliki hak untuk tidak menjawab atau menolak menjawab pertanyaan yang diajukan.

Dan tidak ada sanksi yang dapat diberikan jika memang ada terdakwa yang tidak ingin menjawab pertanyaan yang diberikan di pengadilan.

“Itulah sebabnya terdakwa itu tidak disumpah pada saat memberikan keterangan, beda dengan saksi. Karena keterangannya sebenarnya tidak terlalu penting. Biar dikejar-kejar, dipaksa pun nggak penting keterangannya. Harus tetap bukti,” imbuh Benny Surbakti.

Hal serupa juga kata Bang Benny pernah disampaikan oleh profesor Yahya Harahap, bahwa penerapan pembuktian dalam perkara tetap diperlukan.

“Penerapan pembuktian, katanya selamanya itu, tidak boleh tidak, tetap diperlukan. Sekalipun terdakwa mengakui perbuatannya,” tegas Benny Surbakti.

Jadi meskipun terdakwa telah mengaku melanggar hukum pidana, Hakim tetap wajib untuk melakukan pembuktian atas perbuatan tersebut.

Jika yang mengakui perbuatan saja wajib dilakukan pembuktian, apalagi yang tidak mengaku.

Belum lagi semua terdakwa diperbolehkan untuk tidak mengakui perbuatan tersebut, dan mengatakan hal-hal yang hanya akan menguntungkan dirinya sendiri.

Terkait hal tersebut, juga telah tertuang dalam Pasal 189 KUHAP Ayat 4, yaitu :

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”

Kendati demikian, menurut Bang Benny, baik Putri Candrawathi, Bripka RR dan Kuat Ma’ruf tetap harus dihukum.

“Karena gini. Pasal 183 KUHAP tadi menyatakan bahwa Hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa itu minimal 2 alat bukti dan keyakinannya. Jadi Hakim akan menggunakan keyakinannya itu. Walaupun nggak ada bukti, dengan keyakinannya dia akan menghukum orang ini juga,” terang Benny Surbakti.

Hasil putusan Hakim itu tidak bisa diganggu gugat, mau itu salah ataupun benar, tetap tidak ada yang bisa mengubahnya.

Seandainya terdakwa tidak sepakat dengan hasil keputusan Hakim, maka bisa diajukan banding.

Sama ada jika setelah banding hasilnya juga tidak disetujui oleh yang bersangkutan, maka dapat diajukan kasasi.

“Itulah lemahnya sistem hukum kita. Udah saatnya dirubah. Jadi Hakim itu bisa nanti menggunakan keyakinannya aja untuk menghukum orang, dengan alasan ‘kalau nggak sepakat kamu, ya silahkan banding, silahkan kasasi’, dan lain sebagainya,” ucap Benny Surbakti.

Semua hal tersebut dijamin oleh Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945, dan juga Pasal 1 (1) Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Seharusnya kata Bang Benny, kalau kita memang taat hukum, vonis itu harus dijatuhkan sesuai dengan aturan, minimal ada 2 alat bukti.

“Tidak cukup hanya berdasarkan keyakinan. Ibarat pepatah, ‘tidak ada bukti, tidak ada kasus’. Inilah pentingnya profesionalisme penegak hukum. Agar para pelaku kejahatan ini tidak lepas, hanya karena kurangnya alat bukti,” jelas Benny Surbakti.

Karena itu, kuncinya memang ada pada sikap profesional dari para penegak hukum itu sendiri.

Di mana sebagai seorang penegak hukum, wajib untuk menjunjung tinggi profesionalisme, agar tidak ada celah bagi para pelaku untuk selamat.***

 

Editor: Viko Karinda

Tags

Terkini

Terpopuler