Keterangan Berbelit Bikin Sidang Kasus Brigadir J Jadi Debat Kusir, Benny Surbakti : Terdakwa Boleh Berbohong

9 Desember 2022, 07:00 WIB
Keterangan Berbelit Bikin Sidang Kasus Brigadir J Jadi Debat Kusir, Benny Surbakti : Terdakwa Boleh Berbohong /Kolase foto Pikiran Rakyat dan Twitter @MostlyJakarta/

TERAS GORONTALO – Rangkaian sidang kasus pembunuhan berencana Brigadir J masih terus berjalan.

Meski satu per satu saksi maupun terdakwa telah memberikan keterangan di hadapan persidangan, namun tabir gelap yang menutupi kasus ini belum juga terkuak.

Masih banyak kesaksian yang dinilai Majelis Hakim tidak masuk di akal, jika dibandingkan dengan fakta persidangan.

Belum lagi beberapa orang saksi saat dihadirkan di pengadilan, justru menyampaikan pernyataan yang bertolak belakang dengan BAP yang pernah mereka buat.

Baca Juga: Hakim Nilai Pernyataan Ferdy Sambo Tak Masuk Akal, Benny Surbakti : Sudah Terbukti Pembunuhan Berencana

Keterangan berbelit-belit yang terucap dari mulut beberapa orang terdakwa dan saksi, justru makin menambah rumit pembuktian kasus pembunuhan Brigadir J.

Alhasil, persidangan yang melibatkan Bharada E, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka RR dan Kuat Ma’ruf seolah nampak seperti debat kusir.

Di mana masing-masing pihak begitu fanatik dengan pendapatnya, dan meyakini bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran.

Ahli hukum Benny F Surbakti, SH, MH, C.PEM dalam kanal YouTube Elang Maut Channel memberikan tanggapannya terkait hal ini.

Menurut Bang Benny, dalam asas hukum di Indonesia, ada yang disebut dengan Ultra Petita.

Yaitu Majelis Hakim tidak boleh memutuskan perkara, di luar dari dakwaan atau tuntutan Jaksa.

Baca Juga: Kawasaki W800 Motor Retro Cocok untuk Pasangan Baru Nikah Ketika Menaikinya Dunia Serasa Milik Berdua, WADIDAW

Jadi, ketika Hakim akan memutuskan hukuman terhadap suatu perkara, harus disesuaikan dengan dakwaan yang telah disusun dan dibaca oleh pihak Jaksa.

Sementara, dakwaan Jaksa dalam kasus ini, dinilai sangat lemah karena penyidikannya tidak sempurna.

Penyebab lemahnya dakwaan adalah karena banyak bukti-bukti pendukung perkara yang hilang.

Di antaranya rekaman CCTV di dalam lokasi TKP yang diduga bisa menjadi 'saksi' kunci kasus ini, tidak pernah ditemukan.

Hal berikutnya yang menjadikan persidangan dari para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J seolah seperti debat kusir adalah tentang isi dari dakwaan Jaksa.

Perlu untuk diketahui pada Pasal 143 KUHAP, berbunyi :

1)   Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

2)   Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

a.Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan

3)   Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

4)   Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.

Baca Juga: One Piece: Mengerikan Rocks D Xebec Masih Hidup dan Diawetkan Untuk Pertempuran Besar?

Ini berarti bahwa dakwaan Jaksa harus diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan.

Apabila surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka harus batal demi hukum.

Jadi, jika ternyata dakwaan Jaksa itu tidak cermat atau kurang jelas, memang sudah seharusnya batal demi hukum.

“Menurut saya, pada saat terdakwa melakukan eksepsi, keberatan atas dakwaan Jaksa, harusnya Hakim itu jangan melanjutkan persidangan dulu. Minta kepada Jaksa untuk memperbaiki dakwaannya. Jangan buru-buru,” jelas Benny Surbakti.

Dia menambahkan, sepatutnya publik juga tahu bahwa saat seorang Hakim menjatuhkan vonis atau hukuman, itu juga diatur dalam undang-undang. 

Semuanya telah tertuang secara lengkap dalam Pasal 183 KUHAP, yang isinya :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dia menjelaskan bahwa ketika Hakim akan menjatuhkan vonis, wajib didukung minimal 2 alat bukti dan ditambah dengan keyakinannya nanti, setelah melihat fakta-fakta di persidangan.

Alat bukti ini sendiri sebenarnya ada 5 jenis, yaitu :

1.Keterangan saksi

2.Keterangan ahli

3.Surat

4.Petunjuk

5.Keterangan terdakwa

Bang Benny mengatakan bahwa alat bukti yang memiliki nilai paling kecil adalah keterangan terdakwa.

Jika unsur-unsur tersebut di atas dikaitkan dengan persidangan dari terdakwa Putri Candrawathi, Bripka RR dan Om kuat, maka yang dikejar oleh Hakim saat ini adalah pengakuan.

Ini dikarenakan minimnya alat bukti dan keterangan saksi yang dapat mendukung pernyataan Bharada E, terkait 3 orang terdakwa tersebut.

Apalagi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa alat bukti dengan nilai terendah justru dimiliki oleh keterangan terdakwa.

Padahal tindakan tersebut sebenarnya sudah berada di luar dari aturan hukum yang berlaku.

“Karena apa? Dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, Hakim itu dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang mengenai keyakinannya, apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jadi tidak boleh dia mengatakan, ‘kau salah, kau begini’, nggak bisa,” beber Benny Surbakti.

Hal tersebut menurut Bang Benny, sudah diatur dalam Pasal 158 KUHAP, yakni :

“Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.”

Selain itu, aturan lain yang mengikat sikap Hakim selama persidangan berlangsung juga diatur dalam Pasal 153 KUHAP Ayat 2 (b) seperti berikut ini :

“Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.” 

Jadi sebenarnya, setiap terdakwa ataupun saksi itu tidak boleh diberi tekanan apapun saat mereka tengah memberikan keterangan.

Apalagi jika sampai memaksakan kehendak.

“Kalau itu dilakukan, di Pasal 153 ayat empatnya, itu mengakibatkan batalnya putusan Hakim demi hukum. Jadi Hakim tidak boleh menekan-nekan sebenarnya,” tutur Benny Surbakti.

Akan tetapi hal tersebut sudah terlanjur terjadi, akibat kurangnya alat bukti dan keterangan saksi yang berbeda-beda.

Sehingga dalam posisi ini, Hakim memilih untuk mengejar pengakuan dari terdakwa.

Padahal justru tugas seorang Hakim itu adalah mengejar pembuktian, bukan pengakuan semata.

Lebih lanjut lagi, Bang Benny menjelaskan terkait perkataan Hakim yang menuding bahwa beberapa orang terdakwa telah berbohong di pengadilan.

“Terdakwa boleh berbohong, beda dengan saksi. Makanya terdakwa itu tidak disumpah. Kalau saksi-saksi itu disumpah,” kata Benny Surbakti, dikutip Teras Gorontalo dari kanal YouTube Elang Maut Channel, Selasa, 6 Desember 2022.

Terkait hal ini, Bang Benny pun menyebutkan pendapat salah seorang profesor, bernama M Yahya Harahap.

Diketahui professor M Yahya Harahap pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung di bidang Kriminalitas.

Di mana dalam suatu kesempatan, sang profesor sempat menjelaskan terkait pemberian keterangan secara bebas oleh terdakwa.

“Kata pak Harahap ini, ‘Dalam pemeriksaan, terdakwa berhak untuk memberikan keterangan dengan bebas’. Itu ditulis dalam bukunya ‘Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP’,” ucap Benny Surbakti.

“Jadi seorang terdakwa berhak untuk membantah dalil-dalil yang diajukan dalam dakwaan, dan memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya,” sambungnya menambahkan.

Menurut Bang Benny, dalam teori hukum pidana asas itu disebut ‘Non Self Incrimination’.

Asas ini memberikan hak kepada terdakwa untuk tidak memberikan keterangan yang dapat memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan.

Dan ternyata, hak tersebut juga telah diatur dalam Pasal 175 KUHAP, yang menyatakan :

“Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan kepadanya, Hakim Ketua Sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.”

Ini artinya setiap terdakwa memiliki hak untuk tidak menjawab atau menolak menjawab pertanyaan yang diajukan.

Dan tidak ada sanksi yang dapat diberikan jika memang ada terdakwa yang tidak ingin menjawab pertanyaan yang diberikan di pengadilan.

“Itulah sebabnya terdakwa itu tidak disumpah pada saat memberikan keterangan, beda dengan saksi. Karena keterangannya sebenarnya tidak terlalu penting. Biar dikejar-kejar, dipaksa pun nggak penting keterangannya. Harus tetap bukti,” imbuh Benny Surbakti.***



Editor: Viko Karinda

Sumber: YouTube Elang Laut

Tags

Terkini

Terpopuler