Tulisan Funco Tanipu 'Risma dan Antropologi Marah', di 'Serang' Netizen, Ada apa ya?

- 3 Oktober 2021, 17:17 WIB
Tulisan Funco Tanipu 'Risma dan Antropologi Marah
Tulisan Funco Tanipu 'Risma dan Antropologi Marah /Tangkap layar facebook/Funco Tanipu/

Dikatakan Funco Tanipu, Dua "dasar" ini adalah "kaki" perangai Risma dalam pemerintahan.

"Dalam konteks antropologi Gorontalo, karena banyak perulangan kejadian yang tidak beres atas tata kelola pemerintahan, maka membuat inilah yang membentuk dan menjadi "tahu-tahu atau sudah tersimpan dalam memori dan nurani," jelasnya.

Baca Juga: Mensos Tri Rismaharini Marah-marah di Gorontalo, Gubernur Rusli: Contoh yang Tidak Baik

Di Gorontalo, jika marah sudah dalam tingkat "tahu-tahu" maka dengan trigger apapun, khususnya melihat ketidakberesan yang berulang, akan segera "naik" dan pada ujungnya pendamping PKH "tilu-tilunggoiyo" alias ditunjuk-tunjuk. Molu-molunggo'o adalah ekspresi marah dalam kaidah Gorontalo. Ekspresi dari pendamping adalah "le hulo'o" atau terduduk.

"Jadi, apa yang Risma ekspresikan sebenarnya ada dalam kultur keseharian orang Gorontalo. Bahkan dalam kemarahan orang Gorontalo yang lain, jima sudah "tahu-tahu" marah, maka ada beberapa yang akan "anu-anungo" atau menyelipkan pisau atau parang di balik baju untuk membalas atau mengekspresikan kemarahannya," terangnya.

Kemarahan Risma menurutnya, masuk juga dalam varian marahnya orang Gorontalo yakni "lombu-lombula nyawa" artinya itu berarti kiasan seperti merebus air yang mendidih. Dalam arti lain, marahnya Risma sudah berada "mato yimbupulu" atau sudah berada di ubun-ubun.

"Marah dalam perspektif orang Gorontalo sangat beragam. Mulai dari yingo, moyingowa, yingo ma'o-yingo ma'o, yiyingowa, mayile yingo dan banyak ragam ekspresi lainnya," ulasnya.

Sambung tulisan diparagraf selanjutnya, Funco Tanipu menjelaskan, ada yang ekspresi lanjutan dengan sabar dan menyerahkan ke Allah dengan "mapilooyonga liyo" dan ada yang "maletahu yingo" artinya marahnya disimpan, sewaktu-waktu bisa meledak. Risma masuk kategori kedua, maletahu yingo.

"Pertanyaannya, apakah marah adalah keburukan atau tidak? Dalam konteks antropologi Gorontalo, marah dengan segala variannya adalah bagian dari kearifan lokal. Kenapa bisa disebut arif? Karena marah adalah untuk meluruskan yang tidak beres. Ada ketidakbecusan dalam mengelola sesuatu," tanya Funco.

Lanjut tulisannya, di konteks Gorontalo, seorang pemimpin atau disebut "wuleya lo lipu" harus punya sifat marah. Karena sesuai janji adatnya, "huta, huta lo ito Eeya" (tanah, tanah milik Allah), "taluhu, taluhu lo ito Eeya" (air, air milik Allah), "dupoto, dupoto lo ito Eeya" (angin, angin milik Allah), "tulu-tulu lo ito Eeya" (api, api milik Allah).

Halaman:

Editor: Usman Anapia

Sumber: Facebook/Funco Tanipu


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x