Apa Itu Waruga? Tradisi Suku Minahasa Indonesia yang Diduga Dilecehkan Malaysia Melalui Film

6 Maret 2024, 13:49 WIB
Apa Itu Waruga? Tradisi Suku Minahasa Indonesia yang Diduga Dilecehkan Malaysia Melalui Film /

TERAS GORONTALO - Sebuah film horror Malaysia berjudul 'Waruga, Kutukan Ilmu Hitam' mendadak jadi perbincangan publik dan mendapat banyak kecaman.

Pasalnya, film yang disutradarai Azaromi Ghozali diduga telah melecehkan suku Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia.

Hal itu lantaran, Waruga dalam film yang telah tayang sejak 15 Februari 2024 tersebut, dinarasikan sebagai tempat bersemayan roh-roh jahat.

Baca Juga: Film Horor 'Waruga' Buatan Malaysia Diduga Lecehkan Suku Minahasa, Lengkong: Menghina Cagar Budaya

Alhasil, film besutan D'Ayu Pictures mendapatkan banyak kecaman dari masyarakat Indonesia, khususnya di tanah Minahasa, Sulawesi Utara.

Salah satunya disuarakan oleh seorang masyarakat adat Minahasa, Andre Lengkong.

Melalui video yang diunggah halaman Facebook Minahasa Tribe Selasa, 5 Maret 2024, Andre mengecam film tersebut.

Baca Juga: Rajai Dapil Minahasa-Tomohon Robby Dondokambey Ternyata Memiliki Kekayaan Sebanyak Ini...

"Azaromi Ghozali, saya sebagai masyarakat adat Minahasa, saya keberatan dengan judul film, dengan tema, atau dengan alur cerita dari filmmu. Karena dimana disitu anda telah memakai dari kebudayaan kami, nama dari kebudayaan Indonesia," tegasnya.

Film tersebut dinilai telah melecehkan Minahasa karena menampilkan Waruga sebagai tempat bersemayam roh-roh jahat.

"Waruga itu bagi kami adalah leluhur-leluhur, tempat peristirahatan leluhur kami, dan anda mengemas itu dalam film anda itu seakan-akan roh jahat semua didalam waruga itu," lanjutnya.

Lalu, apa sebenarnya Waruga?

Melansir dari berbagai sumber, berikut ulasan mengenai Waruga, tradisi suku Minahasa.


Waruga sendiri sebenarnya adalah makam para leluhur suku Minahasa yang terbuat dari batu dan memiliki dua bagian.

Bagian atas berbentuk segitiga seperti atap rumah, dan bagian bawah berbentuk kotak dengan rongga didalamnya.

Tradisi pemakaman menggunakan Waruga, diketahui telah ada sejak dahulu, sekitar zaman megalitikum.

Di mana, orang Minahasa yang meninggal, akan diletakkan menghadap ke utara dengan posisi layaknya manusia dalam kandungan.

Mayat akan diletakkan dengan posisi duduk dengan tumit kaki menempel pada pantat serta kepala mencium lutut.

Waruga tersebut akan ditempatkan di perkarangan atau kolong rumah.

Meski begitu, tidak semua orang Minahasa yang dapat dimakamkan menggunakan Waruga, hanya orang-orang yang memiliki status sosial tinggi yang dapat menggunakannya.

Terdapat makna yang mendalam dari tradisi pemakaman menggunakan Waruga.

Posisi menghadap ke utara, menandakan jika suku Minahasa berasal dari utara.

Suku Minahasa percaya, bahwa orang yang telah meninggal akan kembali pada posisi seperti saat ia didalam kandungan.

Waruga sendiri berasal dari dua suku kata, yakni Waru yang berarti rumah dan ruga yang berarti badan.

Waruga sendiri dimaknai sebagai tempat rumah raga kembali ke surga.

Tradisi pemakaman menggunakan Waruga bertahan dari zaman megalitikum hingga sekitar pertengahan abad ke 19.

Sekitar tahun 1860, tradisi pemakaman menggunakan Waruga mulai dilarang oleh Belanda seiring munculnya wabah penyakit pes, kolera dan tifus.

Seiring masuknya ajaran agama Kristen ke tanah Minahasa, pada tahun 1870, suku Minahasa mulai menggunakan peti mati sebagai sarana pemakaman.

Di Minahasa Utara, Waruga-Waruga yang tersebar, dikumpulkan di beberapa titik dan telah menjadi tujuan wisata sejarah.***

Editor: Viko Karinda

Tags

Terkini

Terpopuler