Dewan Pers dan Komunitas Pers Tolak Draf RUU Penyiaran

- 14 Mei 2024, 18:24 WIB
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (kedua dari kiri), Tenaga Ahli Hukum Dewan Pers Hendrayana (kiri), dan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli (ketiga dari kiri) saat juma pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Senin 1 April 2024.*/Antara/Genta Tenri Mawangi
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (kedua dari kiri), Tenaga Ahli Hukum Dewan Pers Hendrayana (kiri), dan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli (ketiga dari kiri) saat juma pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Senin 1 April 2024.*/Antara/Genta Tenri Mawangi /

TERAS GORONTALO—Dewan Pers dan seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf Rancangan  Undang-Undang Penyiaran. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5). 

Suara senada dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika. “Jika tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka Senayan akan berhadapan dengan masyarakat pers,” ujar Wahyu. 

Menurut Ninik, bila RUU itu nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional. Dia juga mengritik penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya. 

Ia menambahkan, dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningfull participation) dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran. 

Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran, ujarnya, juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. 

Hal lain yang disoroti Ninik adalah penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran. “Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers,” kilahnya. 

Sedangkan anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengutarakan upaya menggembosi  kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif. Hal itu antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam  UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran. Yadi menilai, RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers. 

Suara penolakan juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disampaikan oleh Kamsul Hasan. Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. PWI minta agar draf RUU Penyiaran yang bertolak belakang dengan UU Pers. 

Halaman:

Editor: Viko Karinda


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah