Karena kurangnya jumlah suara yang dimiliki oleh penduduk dari luar pulau Jawa, maka akhirnya setiap keputusan dan kebijakan kemudian diserahkan sepenuhnya kepada partai pemilik suara terbanyak di dewan.
Dengan kata lain, masyarakat dari luar pulau Jawa sudah lebih dulu kalah perang sebelum masuk dalam dewan, akibat tidak adanya perimbangan.
Padahal jika seandainya saat itu sudah ada perimbangan geografis, memiliki senator dari kalangan minoritas, pasti keseimbangan bisa tercipta.
“Bagi saya, demokrasi lebih aman kalau ada perimbangan antara perwakilan geografi dengan perwakilan demografi,” jelas Kevin Evans.
- Sosok Presiden
Hal ini sepertinya selalu menjadi masalah utama ketika sebuah negara baru terbentuk, atau baru merdeka dari penjajahan.
Sosok Presiden pendiri itu biasanya menjadi figur yang bersejarah di mata penduduknya.
Permasalahan di sini, ketika itu di Indonesia, sosok Presiden yang dianggap sebagai figur tidak dipilih secara langsung.
Apalagi sekitar tahun 1951, Presiden yang menjabat saat itu sempat menyampaikan sebuah pidato penting di Kalimantan Selatan yang mengundang protes dari masyarakat.
Di mana ketika itu, Presiden menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu negara Islam.
“Wajarlah dari partai-partai khususnya Masyumi waktu itu, langsung mengkritik habis-habisan. ‘Politik itu bukan urusan. Anda kan hanya Presiden. Politik itu urusan parlemen’,” terang Kevin Evans, seolah menirukan obrolan yang terjadi di masa itu.