Rohmat mengatakan, naiknya pengguna rokok aktif akan meningkatkan juga paparan asap pada orang lain.
Perokok pasif akan rentan terhadap penularan infeksi saluran napas baik itu dari virus, bakteri atau kuman lainnya.
Rohmat mengutarakan, edukasi dan promosi kesehatan terhadap bahaya rokok masih kalah dengan promosi produk rokok. Kondisi ini merupakan tantangan bagi semua pihak, termasuk untuk pemerhati kesehatan.
Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, dr. Sumarjati Arjoso, SKM menyambut baik dan menyampaikan apresiasi terhadap keputusan pemerintah.
Akan tetapi kata Sumarjati, kenaikan tersebut belum cukup ideal untuk menurunkan prevalensi merokok, khususnya di kalangan anak dan perempuan.
"Pemerintah seharusnya menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen, harga jual eceran naik 57 persen dan melarang penjualan rokok batangan agar lebih efektif membuat rokok sungguh-sungguh tidak terjangkau," katanya.
Selain itu, Sumarjati juga menyayangkan dibatalkannya simplifikasi cukai oleh pemerintah walaupun celah tarif diperkecil.
Penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau secara merata akan menjadi instrumen yang ideal untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus penurunan konsumsi rokok di masyarakat.
Rokok Lokal
Kenaikan cukai tembakau memicu pro dan kontra terutama dari sisi perokok. Warga asal Rancabolang, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung Agung Nugraha (34) menyatakan, kenaikan tersebut sah-sah saja. Meski kenaikan cukai tembakau dipastikan berimbas pada harga rokok.